Di malam itu, saya pulang dengan dada yang sesak. Semuanya terasa berantakan dan saya dikuasai perasaan yang meletup bahwa segalanya tidak akan berhasil.Â
Dalam kesendirian, saya mencoba mengalihkan kesedihan yang berlarut. Saya mendapati kisah tentang seribu burung bangau kertas. Tentang Senbazuru, kumpulan origami, seni melipat kertas, berbentuk bangau (tsuru). Burung-burung kertas ini kemudian dirangkai menggunakan benang.
Konon legenda kuno yang hidup Jepang itu bercerita tentang bagaimana membangun tekad dan memperjuangkannya agar akhir bahagia dapat terwujud. Atau, didoakan dan kita mendapatkan jawaban yang diimpikan.
Dikisahkan dalam legenda tersebut bahwa siapa pun yang mampu melipat kertas-kertas menjadi seribu burung bangau, maka satu permohonannya akan dikabulkan.
Di sekitar kisah itu, saya menemukan nama Sadako Sasaki.
Di malam itu, di tengah keputusasaan dan tak tahu harus berbuat apa, saya membaca bahwa kisah Sadako Sasaki bermula pada  6 Agustus 1945 ketika sebuah bom atom dijatuhkan di Hiroshima. Bom itu jatuh tidak jauh dari rumahnya, sekitar jembatan Misasa.
Sadako Sasaki masih berusia dua tahun saat peristiwa tragis itu terjadi. Ia belum banyak tahu tentang dunia dan pertikaian di dalamnya. Apa yang terjadi kemudian, menjadi derita yang yang dipikulnya seumur hidup.
Tercatat dalam sejarah kelam itu pada November 1954, leher dan bagian belakang telinga Sadako membengkak. Disusul kemudian, pada Januari 1955 kondisinya kian parah. Di kedua kakinya, bermunculan bercak ungu.
Ujung dari cerita yang terjadi pada diri Sadako Sasaki, sampai pada vonis yang teramat memberatkan. Dia didiagnosa mengidap Leukemia. Pada tanggal 21 Februari 1955 itu dia harus masuk rumah sakit.
Hidup gadis kecil itu hanya tersisa tak lebih dari satu tahun.