Setidaknya dalam rentang satu dekade terakhir, diksi "Startup" (perusahaan rintisan) bak kembang tumbuh dan mekar di musim semi. Seolah melahirkan pemeo bahwa "bila dua atau tiga orang sudah berkumpul di tempat nongkrong, maka lahirlah startup".
Pengalaman coba-coba (trial and error) tidak menyurut langkah---sekalipun pandemi Covid-19 mendera Indonesia dan dunia. Hingga pertengahan Mei 2021, tulis tribunnews.com (30 Juni 2021), startupranking.com mencatat Indonesia berada di posisi kelima negara dengan startup terbanyak di dunia (2.236 startup!).
Namun demikian, dalam sebuah tulisan lain, Kompas.id (17 Juli 2021) menerakan judul bergas, "Sebanyak 90 Persen Startup Berakhir dengan Kegagalan". Lead yang digunakan, tak kalah menarik: Di balik gemerlap cerita sukses perusahaan rintisan bidang teknologi atau "startup", terdapat kisah pendiri yang harus selalu fleksibel terhadap hal baru dan siap gagal.
Tidak ada data pasti berapa banyak perusahaan rintisan bidang teknologi di Indonesia yang gagal, tutur Kompas.id. Mengutip dugaan seorang mantan pendiri startup, dikemukakan bahwa tingkat kegagalan perusahaan rintisan bidang teknologi baik di Indonesia maupun rata-rata global sangat tinggi, mencapai 90 persen.
Saya tergoda untuk menukilkan sebuah puisi berjudul Gen Z karya Lucia Priandarini (atas izin penyair) di sini:
Senin pagi
kau ingin berhenti bekerja, meluncurkan startup,
menjadi influencer, dan menerima endorse.
Senin siang
kau teringat cicilan dan tagihan, investasi bulanan,
tabungan liburan, persiapan menikah, dana darurat.
Senin sore
kau ingin pulang tepat waktu, tapi Bos menahanmu,
klien menunggu hasil revisi kelima.
Tentu larik-larik ini sekadar cara sederhana untuk mengilustrasikan data-data tersebut. Namun secara global, angka "buram" itu tak perlu menjadi "suram" bila kita memaknainya secara proporsional menggunakan lensa Hukum Pareto secara moderat.