Pada mulanya air, daratan, dan manusia hidup Damai. Sebelum manusia diberi napas hidup, daratan telah ada. Sebelum daratan terbentuk, air telah ada. Manusia kemudian khianat, menjadi si "Malin Kundang". Maka, banjir pun datang. Nabi Nuh adalah saksi awal bagaimana banjir mengamuk.
Air punya ritme, siklus hidup. Yang seharusnya teratur dan berlangsung dalam damai. Airlah yang terlebih dahulu tiba di sebuah daratan--bukan manusia. Namun, si manusia abai dan menjadikan semua lahan sah untuk diperlakukan. Air pun dipaksa mencari jalannya ke muara. Maka, saat ia menempuh jalan-jalan alternatif baginya, orang-orang menyebutnya banjir. Kata dengan konotasi negatif dan dimusuhi sedemikian rupa.
Inilah siklus air. Ia menempuh perjalanan panjang. Dari permukaan bumi ia naik, lalu turun kembali. Para ahli memberinya nama (1) Evaporasi & Transpirasi, (2) Kondensasi, (3) Presipitasi, dan (4) Koleksi. Ringkasnya, ia menguap, jadi awan, kemudian turun dalam rupa hujan dan embun.
Hujan dan embun yang turun, meresap dan menjadi air tanah. Koleksi air ini memberi manfaat bagi makhluk hidup. Air lainnya melanjutkan perjalanan menempuh siklus ini. Tak terbersit niat untuk mengganggu dan mencelakai manusia.
Anomali
Manusia kemudian berperilaku tak terkontrol. Hutan-hutan dibabat. Lahan-lahan melawan peruntukan yang semestinya. Sampah-sampah dibuang sembarangan. Pola konsumsi manusia jadi "buas". Eksplorasi tak semestinya, kerusakan ekosistem, lalu terjadi kenaikan temperatur.
World Resources Institute (WRI) dalam salah satu publikasinya di website ofisial, mengutip Aqueduct Global Flood Analyzer, yang menyatakan Indonesia adalah negara dengan jumlah populasi terdampak bencana banjir terbesar ke-6 di dunia.
Berdasarkan data yang dicatat oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terungkap bahwa banjir adalah ketegori bencana yang paling sering menimpa Indonesia. Ada sebanyak 464 momen banjir yang terjadi pada setiap tahunnya.
"Ada tiga faktor utama penyebab banjir dan longsor yang paling banyak disoroti, yaitu berkurangnya tutupan pohon, cuaca ekstrem, dan kondisi topografis Daerah Aliran Sungai (DAS)," demikian tulis Dede Sulaeman, Adi Pradana, dan Hidayah Hamzah sebagai terpublikasi pada 31 Juli 2019.
Jika tutupan pohon berkurang, maka keseimbangan hidrologis lingkungan sekitarnya juga jadi mudah terganggu. Air hujan yang turun, sulit diresap oleh tanah. Lebih banyak menjadi aliran air di permukaan.
Sebagai gambaran, terdapat indikasi kehilangan 887 ha tutupan pohon di pegunungan Cyclop, Papua, pada periode 2001-2018. Ini berdampak pada banjir di Distrik Waibu, Sentani, dan Sentani Timur.
Curah hujan dengan intensitas tinggi dan dalam waktu lama, menjadi penyebab lain atas kejadian banjir di Indonesia. Penulis mengutip Fenomena Osilasi Madden-Julian (OMJ) sebagai fenomena alam yang menyebabkan meningkatnya suplai massa udara basah, menyebabkan tingginya curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia.