Di Jogja, kerap bertumpahan air. Rintik hujan yang curah di bulan November, digeret oleh cuaca hingga menyeberang ke bukan Januari di tahun yang berbeda. Saat celotehan ini ditulis, semenjak belum ada ide, hujan sudah ramai gentayangan di udara.
Tumpahan air kedua di Jogja, yang lestari dalam ingatan, tentu saja curah air mata. Mengenai ini, ada dua macam air mata yang rajin rintik di kota pelajar ini. Catat baik-baik, ya.
Pertama, pastilah air mata keberhasilan. Tidak berlaku buat semua orang sih. Namun, sangat mayoritas. Bayangkan pengunaan kata dalam kalimat barusan. Sudah pakai "sangat", ada "mayoritas" lagi. Tandailah kisah-kisah kenangan yang kerap kita dengar terkait Jogja.
Yogyakarta bukanlah sekadar "terminal sekolah atau kuliah". Ada yang lebih, terlebih mahal dari uang semesteran. Di sini, disebut orang sebagai tempat berlangsungnya Sekolah Kehidupan, yang memproses banyak "murid" saat mereka datang dan pergi.Â
Saat berada di dataran sukses--ups, di aini kata "suksea" dalam makna luas ya--"alumni" perantau Jogja akan berkisah tentang makna Yogyakarta dalam hidup mereka.
Rintik seduh lainnya, erat terkait kenangan yang tak terlupakan. Semisal lewat kuliner, suvenir, foto-foto maupun tulisan. Juga melalui kenangan akan mantan. Mengantar ingatan pada kota hangat ini.
Itu sebabnya hujan yang turun di Yogyakarta, akan berwarna lain. Demikian juga dalam hal rasa. Jogja memilik varian rasa yang berbeda. Membasahi dirimu, lalu lekat tak pupus.
November Rain dan Hujan Bulan Covid
Saya sempat mengekalkan datangnya hujan sejak bulan November pada tahun pandemi Covid-19 ini. Saya mengisahkannya secara reflektif dalam kesatuan feed 3x2 Instagram @angtekkhun1. Bertajuk "November Rain", terambil dari lagu Gun N' Roses.
Pada Desember yang baru saja lengser, saya mengabadi puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono dengan unik. Begini jadinya:
Hujan Bulan Covid