Banyak ingatan menarik bila kita layangkan pada masa perploncoan saat melangkahkan kaki untuk memasuki kehidupan perguruan tinggi. Tugas-tugas ribet nan berat, perintah-perintah remeh yang kerap "irasional", hingga gertak dan gaya otoriter yang menyebalkan.
Semua itu, tak lagi membekas dalam ingatan utama kenangan saya akan masa itu. Namun satu pembelajaran penting membekas teramat dalam dan menggores melewati perjalanan waktu. Pembelajaran ini terlalu "remeh" untuk dijadikan mata ajaran, yang rasanya tak akan pernah menguat sejeka mata pelajaran Budi Pekerja menghilang dari kurikulum kita.
Seorang senior mengajarkan, melalui contoh pengalaman hidupnya, bahwa selayaknya kita tahu diri untuk berterima kasih melalui ucapan "Terima Kasih". Ia menuturkan contoh sederhana, "Saat kalian pulang dari kampus ini dan melewati pintu yang dijaga, saat menyerahkan karcis parkir, adakah kata-kata yang kalian ucapkan?"
Kami terdiam.
Parkir di kampus, kami tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Maka, seusai menyerahkan tiket, tindak pertama kami adalah menancap gass dan pergi. Apabila diperlukan, sesekali anggukkan kepala--itu pun bisa kita dilihat oleh Pak Parkir.
"Saya belajar," ujar kakak senior itu, "mengucapkan kata-kata 'Terima Kasih'".
Kami masih bungkam. Dan, tak menganggapnya penting. Ia si kakak bercerita tentang pengorbanan dan tugas penjaga parkir. Tentang orang-orang dengan berbagai profesi yang selayaknya menerima ucapan terima kasih.
Dalam hidup keseharian di keluarga, apakah kerap kita mendengar "Terima Kasih"? Saya tidak yakin, karena uucapkan ini tidak lahir secara spontan. Ia bagian dari zona perilaku yang harus dipelajari dan dilatih. Terus-menerus hingga menjadi kebiasaan (habit).
Saya tidak cukup kuat dan konsisten untuk mengucapkan ini, hingga suatu hari menyimak sebuah khotbah di gereja. Bapak pendeta menguraikan, betapa luar biasa makna "Terima Kasih" dalam bahasa Indonesia. Jika dalam bahasa Inggris digunakan "You" dalam "Thank You", maka bahasa Indonesia ada di level jauh di atasnya.
"Terima Kasih", ujarnya adalah pengakuan seseorang bahwa ia telah menerima "Kasih". Pernyataan khas ini melampaui bahasa-bahasa lain. "Bangsa mana yang membuat pengakuan seperti ini," ujarnya mengajak merenung.
Sejak peristiwa itu, saya belajar untuk meringankan diri mengucapkan "Terima Kasih". Pada mulanya, terasa berat untuk dilakukan. Lidah ini terasa kelu dan tak berdaya. Namun, ini layang diperjuangkan. Dan saya, hingga hari ini, terus bertekad melakukannya.