DISADARI atau tidak, salah satu kekayaan terbesar yang dimiliki Kompasiana, yang rasa-rasanya tidak akan mampu diikuti layanan media warga sejenis lainnya, adalah berkiprahnya sejumlah pengarang fiksi, senior maupun yunior, dengan dedikasi teramat tinggi.
Pada saat bergabung di sini pada 2013, saya menemukan nama-nama terkenal yang dengan mudah saya sebutkan namanya Thamrin Sonata, Isson Khairul, dan Syaiful W Harahap. Ketiga Kompasianer ini adalah senior saya saat menulis di Majalah Kumpulan Cerpen (Kumcer) Anita Cemerlang. Nama-namanya mereka tentu dapat pula dijumpai di sejumlah media lain selain Anita Cemerlang. Mereka terus menulis di Kompasiana, hingga kini, meskipun mungkin Anda lebih mudah menemukan tulisan mereka di ranah nonfiksi.
Itu hanyalah sekadar menyebut beberapa nama cerpenis sebagai contoh. Nama-nama lain yang menonjol sebagai pengarang fiksi, dengan mudah dapat dideretkan sedemikian panjang di halaman ini. Kesadaran akan antusiasme dan potensi tinggi pada ranah fiksi, tampak disadari sepenuhnya oleh Pengelola Kompasiana.
Tindakan pertama yang dilakukan Pengelola Kompasiana, sepengetahuan saya, adalah merentang tangan terbuka untuk menerima posting karya fiksi—yang pada era awal berdirinya Kompasiana Anda tidak akan menjumpai karya fiksi. Kedua, Kompasiana mendirikan seksi fiksi bernama Fiksiana sebagai penanda perlakuan istimewa yang selayaknya diberikan. Ketiga, adalah kehadiran lebih dari satu komunitas Kompasianer yang bergelut di kawasan penulisan fiksi—prosa maupun puisi.
Di sini bukan hanya ada komunitas berpanji-panji Fiksiana. Melainkan juga Rumpies The Club, dan kental pula dijumpai di sejumlah komunitas lain dalam lingkup Kompasianer semisal Planet Kenthir dan Koplak Yo Band. Dalam program layanannya, komunitas-komunitas ini kerap menyelenggarakan kontes menulis fiksi.
Di Sini Kisah Bermula
ITULAH alasan pertama saya dipenuhi dorongan yang teramat kuat untuk menuliskan posting ini. Alasan kedua, adalah karena nama seseorang bernama Indi. Hingga hari ini, saya tidak mengenal Indi. Saya sekadar tahu dan beberapa kali bertukar informasi melalui aplikasi pengiriman pesan yang tercangkok di media sosial.
Saya menemukan nama Indi, untuk pertama kalinya, tercantum di sampul sebuah buku fiksi berukuran mungil dengan desain cover unik. Buku ini tidak ramai dalam riuh perbincangan, demikian juga nama Indi bukanlah bintang percakapan di planet pengarang. Idem dito penerbit buku ini, Homerian, bukanlah penerbit yang mendapat lampu sorot di dunia perbukuan. Homerian lebih dikenal sebagai, saya sebut saja "balai baca" sederhana, yang di halamannya digunakan pihak lain berjualan Lotek, sejenis makanan terkenal, tempat saya kerap mampir di Yogyakarta.
Ini novel pertamaku yang diambil dari buku harianku ketika SMA. Novel ini berisi kisahku yang seorang scolioser dan Mika yang seorang ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Kami berpacaran selama 3 tahun yang menyenangkan dan novel ini mengabadikan salah satu moment terindahku yang pernah terjadi dalam hidupku :)