Saya merasa beruntung bisa mengenal Citilink dalam dua siklus hidup. Siklus pertama sangat lekat di ingatan karena dua hal paling menonjol. Pertama, desain pesawatnya yang menampilkan “bunga-bunga”. Kedua, pramugarinya, seingat saya menggunakan seragam yang saya sebut busana montir (one pieces, celana panjang) berwarna merah. Saat itu, Citilink diperkenalkan sebagai “keluarga” Garuda Indonesia yang berbiaya murah. Airlines ini menjadi pilihan utama apabila saya menempuh perjalanan dinas Yogyakarta-Jakarta pp.
Siklus atau periode kedua, saat Citilink telah diubah dengan warna dominan hijau, mendarat di bandara Halim Perdanakusuma, dengan busana pramugari yang “normal” dan pakaian pramugara hijau strip yang tak “ramah” dipandang oleh mata. Pada periode ini, saya beberapa kali sempat menikmati Citilink dengan rute yang mendarat di bandara Halim Perdanakusuma.
Setelah lebih sering menikmati airlines lain, saya cukup terkejut karena saat mendapat undangan untuk menghadiri sebuah acara yang berlangsung di Jakarta pada Selasa, 24 Mei 2016, penyelenggara menyediakan tiket Yogyakarta-Jakarta menggunakan penerbangan Citilink. Saya pun menyambutnya dengan antusias sebagai momen untuk bernostalgia dengan Citilink dan mendarat di bandara Halim yang lebih “tenang”.
Tak berentang lama, kejutan kedua tiba. Masuk pesan teks bahwa jadwal penerbangan QG947 mengalami perubahan karena faktor operasional. Semula tercatat jam penerbangan 14.40 WIB, diubah menjadi 15.30 WIB.
Apakah kisah ini berakhir di sini dan dengan menuliskan ini saya mengeluhkan hal-hal sepele yang remeh-temeh dan mencitrakan saya seorang lelaki “cemen”? Tidak. Ada drama seri lain yang tak kalah mengesalkannya yang berlangsung di dalam pesawat selama perjalanan ini.
Baiklah, kita lanjut. Sebagaimana biasanya, saat memasuki badan pesawat, saya mengucapkan “Selamat siang...”. Karena tidak membawa bacaan, saya melanjutkan ucapan dengan menanyakan apakah tersedia koran untuk saya baca? Saya mendapat jawaban elegan dan manis bahwa koran belum tersedia di Citilink. Sebagai gantinya, saya dihibur oleh Mbak Pramugari bahwa tersedia majalah di kursi penumpang.
Oke, kini saatnya saya menuturkan kisah yang tak kalah serunya. Saya memilih duduk di pinggir gang dan mendapat nomor 24D. Duduk di sini, kepala saya serasa diincar “rudal”. Lalu lintas penumpang di lorong pesawat yang sempit terasa menyebalkan. Beberapa orang berjalan ke depan mencari tempat duduknya, sementara arus terbanyak berasal dari penumpang yang naik dari tangga depan. Maka tak heran saya harus menyelamatkan kepada dari koper yang lewat dekat kepala saya sebagai upaya dari penumpang untuk saling melewatinya.