Â
[caption id="attachment_414002" align="aligncenter" width="500" caption="Yuk, membuat Rumah Ramah Air (Dok.Pri)"][/caption]
Hai Air, perkenalkan namaku Banyu. Tahu enggak, waktu kecil aku takut padamu, terutama saat kau dan teman-temanmu datang beriring guruh dan guntur di malam hari. Pada masa itu, listrik belum tersedia dan atap rumah kami terbuat dari seng yang selalu hiruk-pikuk menyambut kedatanganmu. Angin yang berembus membuat pijar api pada sumbu lampu templek di kamar turut bergoyang-goyang, memantulkan bayang-bayang hitam yang semakin seram kulihat dari balik kelambu yang mengelilingi ranjang untuk melindungi kami dari gigitan nyamuk. Aku memeluk erat guling, menutup telinga dengan bantal, dan meringkuk dengan debar jantung kencang yang kadang disertai keringat dingin sebelum tertidur karena kelelahan.
Ketika kamu rajin datang, keluarga kami senang saat menimba air dari sumur. Kami tidak perlu menjulurkan tali panjang ke bawah dan berlelah menarik timba ke atas, karena permukaanmu tak lebih dari lima meter. Malah kadang, lebih dekat dari itu. Ketika pulang dari kebun, wajah ayah pun semringah karena tanaman yang menghuni kebun tampak tumbuh subur ditandai dengan munculnya banyak pucuk baru.
Pada masa remaja, ketika aku merantau ke Pulau Jawa untuk menempuh pendidikan lanjut, aku tak lagi memiliki banyak pengalaman mengesankan bersamamu. Seiring berlalunya waktu, malah kesedihan yang sering kali membersit, terutama bila aku membaca berita di media massa. Kedatanganmu sering kali sangat terlambat. Pengetahuanku bahwa musim kedatanganmu ditandai melalui kehadiran bulan yang berakhir "ber", tak lagi bisa jadi pegangan. Kamu tahu enggak, teman-teman fotografer sering kali menyambut momen ini dengan hasil foto yang menampakkan tanah kerontang dan retak. Terlihat indah sih bila dipandang dari kacamata seni, tapi ada kegetiran yang menyertainya. Demikian pula sebaliknya bila tiba saatnya kau datang, kesedihan tak juga pergi. Seolah kau tidak lagi membawa berkah, melainkan bencana. Banjir dan tanah longsor kerap memenuhi layar TV dan diberitakan koran-koran.
Â
Jalan Panjang Air Dalam Siklusnya
Belakangan ini aku membaca di media massa orang-orang risau membicarakan minyak sebagai sumber energi yang kian berkurang ketersediaannya. Mereka lalu membahas tentang energi terbarukan untuk menyongsong masa depan. Lalu aku bertanya-tanya, apakah orang-orang pintar itu sudah memikirkan cara untuk membuat air yang terbarukan? Syukurlah manusia tidak perlu dibuat pusing akan hal ini, karena meskipun terbatas Tuhan sudah menciptakan sistem siklus air (hidrologi) dengan amat baik. Itu sebabnya kamu tidak pernah hilang, hanya berganti rupa dan berputar dalam siklus itu.
[caption id="attachment_414003" align="aligncenter" width="500" caption="Siklus Air/Hidrologi (Sumber: rumushitung.com)"]
Secara sederhana, siklus air dapat dijelaskan sebagai perjalanan panjang yang ditempuh oleh air sejak air berada di bumi kemudian naik ke atas langit dan turun kembali ke bumi. Begitu seterusnya. Pada siklus ini, terdapat empat tahapan utama:
- Evaporasi & Transpirasi
- Kondensasi
- Presipitasi
- Koleksi
Secara ringkas, evaporasi adalah proses penguapan saat energi dari sinar matahari memanaskan berbagai sumber air di permukaan bumi. Uap ini naik ke atas karena ia sangat ringan. Ada juga penguapan air pada tumbuhan melalui stomata atau lubang daun; ini disebut transpirasi. Transpirasi menyumbang hampir 10% dari seluruh uap air dalam siklus ini. Sebagai gambaran, satu pohon ek bisa mentranspirasikan 40.000 galon air setiap tahunnya. Luar biasa, kan?
Ketika uap air naik, ia kemudian menghadapi kondisi lebih dingin sehingga mengalami penurunan suhu dan berubah wujud jadi uap air yang melayang yang kita sebut awan. Inilah peristiwa kondensasi. Jika kondensasi jadi masif dan terus-menerus, udara tidak akan sanggup menahannya, maka jatuhlah mereka ke permukaan bumi dalam rupa hujan air, hujan es, hujan salju, dan embun. Ini namanya presipitasi.
Air yang turun, sebagian jatuh di hutan atau daratan dan meresap ke dalam tanah, menjadi air tanah. Koleksi air tanah ini sangat bermanfaat bagi makhluk hidup di bumi. Sebagian air lainnya akan meneruskan perjalanan dalam siklus ini. Begitu seterusnya. Tampak sederhana ya siklus ini, tapi sesungguhnya perjalanan ini sangatlah panjang dan lama. Bukan hanya dalam hitungan tahun, malah sejak purbakala, sejak adanya bumi. Air yang baru saja kita minum, mungkin adalah air yang sudah pernah menghuni perut Dinosaurus.
Â
Dari Siklus Normal Menuju Anomali
Tampak sederhana, tapi lambat laun mata rantai siklus ini mulai diinterupsi gangguan. Kisah dari Dusun Bunder di lereng Gunung Merapi yang belum lama ini dimuat di harian Kompas, menjadi saksi terjadinya anomali. Sejak tiga tahun lalu, warga menyambut jatuhnya tetesan air sebagai datangnya butir-butir asa di tengah sulitnya memperoleh sumber air.
Perilaku dan pola konsumsi manusia yang tak terkontrol, menjadi ilwal banyak hal. Hutan-hutan banyak yang dibabat untuk lahan tanaman industri. Kata Ina Liem, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan laju kerusakan hutan tercepat. Bintang film Hollywood Harrison Ford pun membuat film Years of Living Dangerously yang memaparkan fakta ini. Di wilayah perkotaan, hal yang sama terjadi. Peruntukan yang tak sesuai kerap terjadi, misalnya untuk perumahan, hotel, mal, dan pusat hiburan lain. Sampah-sampah tak kalah kontribusinya, dibuang seenaknya ke sungai dan laut. Begitu juga pola perilaku konsumsi, seperti pengambilan sumber daya alam yang mencapai 140 miliar ton bila terkendali, kerusakan ekosistem atau pemanfaatannya yang tak memikirkan kelanjutan bisa mencapai hingga 60%, serta kenaikan temperatur yang tak tertahankan pada setiap tahunnya. Kata Dr. Edzard Ruhe, manusia yang menghuni 1 bumi ini, berperilaku seperti memiliki 1,5 bumi luasnya.
[caption id="attachment_414004" align="aligncenter" width="500" caption="Dampak Perilaku dan Pola Konsumsi Negatif (Sumber: Dr. Edzard Ruhe/SCP)"]
[caption id="attachment_414005" align="aligncenter" width="500" caption="Gaya Hidup Seolah Memiliki 1,5 Bumi (Sumber: Dr. Edzard Ruhe/SCP)"]
Kepala LIPI, Iskandar Zulkarnain, dengan terus-terang mengakui, "Kualitas air memprihatinkan. Banyak yang mengambil air secara ilegal." Katanya, kualitas air di Indonesia terus menurun, terutama terjadi di kota-kota besar. Air permukaan sungai terus mengalami pencemaran dan rusak. Penyebabnya adalah eksploitasi air oleh manusia, limbah rumah tangga, dan kegiatan industri.
Kondisi ini membuat semakin banyak orang mengambil air tanah atau air permukaan untuk memenuhi kebutuhan. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) saat ini hanya mampu memenuhi 40 persen kebutuhan air masyarakat perkotaan.
Tak kalah seru apa yang disampaikan Firdaus Ali, Direktur Eksekutif Indonesia Water Institute. Katanya, permukaan tanah di DKI Jakarta kian turun setiap tahunnya, diakibatkan tingginya laju ekstraksi air tanah dalam yang sudah melewati batas. Kalau ini tidak diatasi secara serius, maka dalam tempo 40 tahun ke depan, Jakarta diprediksi akan benar-benar tenggelam.
Apa yang terjadi di kota Yogyakarta tidak jauh berbeda. Menurut Eko Teguh Paripurno, Peneliti Penanggulangan Bencana di UPN Yogyakarta mengatakan pembangunan hotel yang tak terkendali membuat permukaan air tanah di Kota Yogyakarta terus menurun. Berdasarkan risetnya, permukaan air tanah terus menurun sebanyak 15-50 sentimeter per tahun.
Iskandar Zulkarnain menambahkan bahwa masalah air tidak hanya dialami oleh masyarakat perkotaan, melainkan juga di Indonesia kawasan Timur. Di kawasan ini, jumlah ketersediaan air yang menjadi persoalan. Saat musim kemarau tiba, masyarakat kawasan ini harus berjalan kaki untuk mendapatkan air bersih.
Â
* * *
Hai Air, bagaimana perasaanmu membaca kondisi seperti itu? Betapa mengerikan, ya. Aku tak bisa membayangkan betapa kian sulit kau bisa menetap dan menjadi sahabat manusia bila "rumah"mu terus-menerus direnggut oleh sebagian manusia cuek. Mereka lupa atau tidak mau tahu bahwa dirimu, Air Tawar, sebenarnya hanya berjumlah 3% dari sebagian besar air laut yang asin. Hampir 70% dari dirimu tersimpan di es, gletser, dan salju. Hanya 30% yang meresap ke dalam bumi tersimpan dalam lapisan akifer yang disebut air tanah, dan hanya 0,3% berupa air permukaan yang dapat dimanfaatkan manusia.
Kalau sudah begini, apa yang bisa aku lakukan? Aku bukan orang terkenal dan berpengaruh yang bisa mengatasi ini semua. Aku merasa tidak bisa berperan apa-apa. Tapi, benarkah begitu? Suatu ketika, di tengah perasaan tak berdaya, aku teringat sebuah kisah yang beredar melalui e-mail. Seorang lelaki tua di ujung usianya bercerita bahwa saat masih muda dengan semangat membara ia hendak mengubah bangsanya. Tapi ternyata ia gagal. Di usia lebih matang, ia merevisi tekadnya hendak mengubah keluarganya. Namun ternyata juga tidak berhasil. Ketika usianya kian tinggi ia berkata, "Andai di masa muda aku memulai dengan mengubah diriku terlebih dahulu, mungkin aku bisa mengubah keluargaku. Dan bila itu kulakukan, mungkin saja aku bisa mengubah negeri ini."
Â
Rumah Ramah dan Lestari Air
Itulah yang bisa kita lakukan, mulai dari lingkup terkecil yang berada dalam lingkar jangkauan kita. Tidak muluk-muluk, tapi aku bisa melakukan sesuatu dan berbagi kisah ini kepada siapa saja bahwa kita bisa berbuat sesuatu melalui rumah tempat kita tinggal untuk membangun kepedulian padamu. Aku menyebutnya "Rumah Ramah Air". Rumah Ramah Air bukanlah rumah luar biasa apalagi dibangun dengan mewah dan megah. Bahkan sebaliknya, semua tampak biasa-biasa saja. Hm, seperti apa ya? Pasti kamu penasaran. Yuk kita mulai petualangan Rumah Ramah Air ini:
Â
1. Halaman Depan
Mari kita mulai dari halaman depan rumah. Halaman yang disemen atau di-tegal/keramik mungkin akan berkesan rapi dan bagus, tapi itu tidak ramah air. Usahakan bagian terbuka seluas mungkin, membuat air yang datang melalui hujan atau untuk cuci kendaraan dan lainnya, dapat merembes masuk ke dalam tanah dengan leluasa. Pilihan lain yang terbaik adalah menggunakan paving block karena masih memberi banyak ruang rembesan. Di Bagian ini jangan lupa untuk menanam rerumputan dan berbagai tanaman. Selain bermanfaat bagi air, juga membuat rumah kita menjadi teduh dan asri.