Selepas meletakkan jabatan sebagai manajer Setan Merah, Fergie menghilang dari Old Trafford dan Carrington. Sebagian kita mungkin akan berkata, "Musim baru kan belum dimulai, ngapain juga Fergie ke sana?" Atau, dengarlah asumsi lanjutan ini, "Ntar kalau musim sudah dimulai, paling juga Fergie nonton di kursi VIP Old Trafford dan nongol di ruang ganti pemain." Namun, bukan ini kabar yang menarik untuk disimak. Melainkan dua fakta berikut.
Alex Ferguson secara sengaja menjauhi Old Trafford dan Carrington. Apabila benar seperti yang dilansir Mirror pada akhir musim lalu, pria berusia 71 tahun yang kini dipercaya sebagai duta Setan Merah, akan berkantor di luar Old Trafford maupun Carrington. Fergie rencananya akan menempati salah satu ruangan di kantor milik anaknya, Jason, di Cheshire HQ.
Kontras dengan pemberitaan tersebut, Moyes membuka rahasia kecil bahwa sebenarnya mereka sering berhubungan tanpa diketahui banyak orang atau awak media. Konon "Affair" ini terjadi selama pramusim berlangsung. Moyes mengaku kerap mengunjungi seniornya itu. "Terkadang saya mengunjungi kediaman Fergie, atau berbicara dengannya secara kontinyu melalui telepon." ungkap Moyes seperti dilansir Fox Sports.
Ada apakah di balik kedua fakta ini?
Tidak banyak orang yang menyadari bahwa Fergi adalah seorang manajer yang sangat piawai dalam soal psikologi di dunia sepak bola. Kita diingatkan bagaimana pria asal Skotlandia ini kerap melakukan perang psikologis terhadap manajer klub lawan. Belum lagi hairdryer treatment yang kerap berlangsung di ruang ganti pemain. Mengenai hal ini David Beckham pernah berujar, "Ketakutan pada hairdryer adalah alasan mengapa kami tampil bagus."
Pada saat alih kekuasaan manajer ke David Moyes, Fergie tahu benar bagaimana mempraktikkan ilmu psikologinya. Pertama, dia tahu siapa David Moyes. Suksesornya ini bukanlah Pep Guardiola atau José Mourinho. Apabila salah satu dari kedua orang ini yang menjadi penggantinya, mungkin Fergie bisa ayem. Tetapi Moyes, pelatih yang belum pernah meraih satu pun gelar selama 11 tahun melatih Everton? Oh, ceritanya bakal lain.
Maka, salah satu langkah yang dibuat oleh Fergie adalah segera menjauhi Old Trafford dan Carrington selepas serah-terima jabatan. Langkah ini diambil untuk memberi ruang kepada Moyes. Fergie belajar dan menghindari pengalaman pahit yang pernah dialami oleh salah seorang manajer MU di masa lampau, Wilf McGuiness.
McGuiness adalah manajer MU yang ditunjuk untuk menggantikan Sir Matt Busby pada 1969. Namun, bayang-bayang Busby membuat McGuiness terbebani dalam menjalankan tugasnya. Setahun kemudian, McGuiness dipecat dan posisi itu dikembalikan ke Busby.
Sebuah keputusan yang brilian dari Fergie. Namun, langkah ini riskan menjadi bumerang bagi mulusnya transisi yang diharapkan, mengingat Fergie telah menduduki singgasananya tanpa terusik selama 26 tahun dan tim dalam posisi sebagai juara bertahan. Sementara Moyes, sesuai dengan pengakuannya sendiri, mengalami kesulitan dalam menangani MU.
“Transisi dari Everton ke MU adalah masa-masa yang sulit dan merupakan keputusan yang sulit untuk dibuat. Everton klub yang hebat dan saya bangga telah melatih mereka. Tetapi tak bisa dipungkiri, MU ada pada level yang berbeda. Mari jujur, (pindah ke MU) merupakan peningkatan, dari klub mana pun Anda berasal,” katanya seperti dilansir Inside United.
Pada kenyataannya, Fergie masih sangat dibutuhkan dalam masa transisi ini. Lalu, bagaimana solusi atas strategi psikologis Fergie tersebut? Fergie harus konsisten untuk tidak memunculkan wajahnya di Old Trafford dan Carrington, serta tidak berhubungan dengan pemain MU terkait permainan bola. Maka, mereka pun harus melakukan "affair" sebagaimana yang terjadi selama pramusim ini.