[caption id="attachment_302541" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption] Ajakan untuk menulis dalam rangka Kompasianival 2013 dengan ketentuan tema "mengekspresikan keindonesiaan versi Anda", membuat saya terhuyung ke banyak tahun di belakang. Saya mengembuskan napas panjang dan teringat kalimat keluhan yang pernah saya ucapkan kala itu: Tidak mudah menjadi warga negara Indonesia. Dilahirkan oleh pasangan orangtua yang lahir di sebuah desa di Indonesia, tidak membuat saya berhak menyandang status sebagai warga negara Indonesia. Saya harus menunda kelanjutan studi satu tahun untuk pulang kampung, menempuh jarak hampir 40 km berulang kali untuk ribet mengurus berbagai dokumen, sebelum puncaknya menyodorkan amplop berisi uang saat menjalani tes wawancara tentang keindonesiaan saya. Di sebuah ruang cukup "mewah", dengan tangan gemetar dan ucapan terbata-bata, saya menunaikan langkah terakhir sebelum menjalani seremonial sumpah untuk memperoleh secarik dokumen bukti kewarganegaraan Indonesia. Oom saya yang membungkuskan uang itu dan mengajari saya harus bagaimana. Ia belajar dari pengalaman pribadi. Samar saya masih mengingat ucapannya, "Uang ini tidak banyak, kalau diterima, itu keberuntunganmu. Kalau ditolak, kau harus mengulang tes wawancara ini dengan amplop lebih tebal." Saya tidak tahu harus berkata apa. Padahal, saya sangat yakin mampu melewati tes wawancana ini. Saya hafal Pancasila, teks Proklamasi, dan lagu-lagu kebangsaan. Saya ikut Pramuka, terlibat dalam lomba gerak jalan sekolah setiap 17 Agustus. Bahkan saat merantau sekolah di Surabaya, saya ikut gerak jalan Mojokerto-Surabaya sepanjang 55 km dalam rangka Hari Pahlawan. Saya pun sudah lulus mengikuti penataran P4. Alhasil, hari itu keberuntungan sedang berpihak pada saya. Tanpa sengaja, saya bercerita bahwa saya memiliki hobi menulis. Saya sedang belajar menulis apa saja dan di mana saja. Mading, buletin sekolah, majalah remaja, dan koran tertentu yang memiliki rubrik untuk remaja. Saya tak menyadari bahwa memang pejabat biasanya mencemaskan wartawan--karena memang saya bukan wartawan. Setelah saya bercerita demikian, tak ada pertanyaan yang harus saya jawab. Amplop tipis saya diterima dan saya dinyatakan lulus. Usai menjalani sumpah di pengadilan, saya berpikir segala urusan akan selesai dan saya berhak menyatakan diri sebagai orang Indonesia. Namun ternyata saya harus memendam kekecewaan lebih dalam. Saya masih harus bersabar bagai menunggu Godot, menanti lebih dari satu tahun hingga dokumen kewarganegaraan saya selesai diproses di pusat dan mendapatkan keputusan presiden. Itu terjadi lebih dari 20 tahun yang silam. Sebuah kisah yang masih lekat membekas dalam ingatan saya. Dalam versi sederhana, kala itu pengalaman ini saya tuliskan dan dimuat di majalah Hai semasa dalam asuhan Arswendo Atmowiloto. * * * Tidak mudah memang menjadi warna negara Indonesia. Langkah studi saya berhenti di SMA. Usai pulang kampung setahun, saya kembali merantau untuk menjalani kuliah. Dengan status masih Warga Negara Asing (WNA), saya ikut dalam rebutan jatah kursi kuliah 2% untuk mahasiswa asing dan wajib mengeluarkan biaya yang mencekik leher. Selama itu pula, saya hanya bisa gigit jari membaca pengumuman berbagai lomba menulis yang kala itu selalu mensyaratkan "peserta adalah Warga Negara Indonesia (WNI)". Saya tak ingin menyesali itu semua, termasuk sumber semua masalah yang berpangkal pada kenyataan bahwa saya adalah anak dari seorang ayah yang paling bodoh sedunia. Almarhum ayah saya lahir di sebuah desa di pedalaman pulau Sulawesi. Posturnya ceking mirip Jokowi, kulitnya tak kalah legam. Sebagaimana anak-anak desa lainnya, ia bermain bersama siapa saja dan di mana saja--dari gunung hingga sungai hingga laut. Sekolahnya hanya sampai kelas tiga Sekolah Rakjat (SR) karena kondisi ekonomi. Dalam usia semuda itu, ayah saya harus bekerja serabutan dan memulung barang-barang bekas untuk diolah dan kemudian dijual. Di usia remaja, dengan bersepeda, ia masuk ke kampung paling dalam untuk membeli minyak kelapa dari penduduk dan menjualnya ke kota. Jiwa sosial ayah saya tumbuh secara natural, membuat saya terkenang padanya saat mendengar kisah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tentang ayahnya. Apabila bersepeda motor ke pedalaman untuk mengurus kebun miliknya, ayah selalu menyempatkan diri untuk berhenti di warung kopi di sebuah desa untuk sekadar bercakap-cakap dan mengetahui kondisi mereka. Apabila dalam perjalanan itu dijumpainya sayur atau pisang tergantung di rumah penduduk untuk dijual, ia selalu berhenti dan mampir untuk membelinya. Tidak selalu jualan itu lebih murah, namun ayah selalu membelinya. Di kemudian hari saya paham, ayah sedang bermaksud menebus jualan itu dengan uang tunai agar warga desa itu tidak perlu menempuh jalan jauh menggunakan gerobak atau berjalan kaki untuk menjualnya di pasar. Tak ada wacana apa pun tentang keindonesian di benaknya, karena memang demikianlah hidupnya sehari-hari. Demikian juga dengan para penduduk setempat, mereka tidak pernah melihat perbedaan pada diri ayah saya. Ini semua membuat saya yakin bahwa sikap rasialis dan diskrimatif sejatinya bukanlah sifat bawaan manusia Indonesia, melainkan sesuatu yang dipelajari atau diajarkan secara sengaja. Waktu kemudian berlalu, hingga ayah saya menjelma menjadi ayah paling bodoh sedunia. Ia tak pernah menyadari bahwa kelak anak-anaknya akan bertambah besar dan harus bersekolah dengan membawa secarik dokumen bukti sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Ia tak pernah menggubris untuk mengurus dokumen ini karena ia tak pernah merasa dirinya orang asing. Padahal, apabila ayah mau mengurusnya, maka ke-4 anaknya akan secara otomatis mengikuti status orangtuanya sebagai WNI. Akibatnya, satu per satu anaknya melewati usia 17 tahun, dan harus mengurusnya sebagai secara terpisah. * * * Cukup lama saya merasa sakit hati dan menyesali kebodohan ayah saya yang berimbas pada derita saya dalam menjalani status WNA. Namun di kemudian hari saya menyadarinya, bukankah demikian seharusnya sikap setiap insan yang melekat dan menjadi bagian sah dari bangsa ini. Tak seharusnya status warga negara Indonesia seseorang diletakkan pada secarik kertas berkop Sekretariat Negara dan ditandatangani oleh presiden. Itulah sebabnya, saat lelah dalam penantian dan dokumen sakti tersebut akhirnya saya terima, saya sudah terlalu lelah untuk mengurus dokumen penggantian nama saya. Biarlah nama saya tetap begini--dengan segala konsekuensinya. Lebih baik kelelahan saya ditukar dengan kelelahan dalam berkarya untuk bangsa ini, untuk negeri ini. Untuk bangsa dan negeri yang dicintai oleh almarhum ayah saya dengan tanpa kata-kata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H