Pembaca yang menemukan bacaan bergizi, ibarat sepasukan kuda liar menemukan padang sabana untuk menari. Derap kaki hewan-hewan perkasa itu, terasa berdepakan di dalam dada. Atau, dalam ungkapan yang terdengar lebih romantis, cinta terkadang tak butuh waktu lama untuk menemukan tambatan; ia luruh di pandangan pertama. Nah, di hari Minggu siang kemarin (16/11), saat membaca Kompas, saya terpikat pada sebuah tulisan di rubrik Santap. Hati saya luruh sejak judul dan paragraf pembuka.
[caption id="attachment_376044" align="aligncenter" width="475" caption="Dokumentasi Olive Bendon, digunakan dengan izin."][/caption]
Menulis artikel bertemakan kuliner atau wisata/traveling, bukanlah pekerjaan mudah. Anda bisa saja mendapat sponsor dengan dana triliunan tanpa batas untuk digunakan berkeliling dunia, tetapi pulang sebagai seorang gadis berpakaian minim karena kehabisan kain bernama “kata-kata” untuk membagikan kisah yang Anda alami dalam perjalanan mahal tersebut kepada orang lain, dalam konteks ini pembaca.
Misalkan demikian adanya:
- Pergi restoran
- Makan 1: Steak and kidney pudding
- Makan 2: Roast partridge
- Makan 3: Sticky toffee pudding
Bagaimana Anda menata, menjahit, dan mengisahkannya? Sarie Febriane menuturkannya menggunakan 808 kata (atau 4.856 karakter) dalam bentang 17 paragraf. Ia memberi judul tulisan yang dimuat di Kompas Minggu itu “Puding Hangat dari Masa Lalu”.
Sebagai pembaca yang rajin memperhatikan dan berharap penulis membuat saya jatuh cinta melalui first line, saya mengernyitkan kening saat membaca paragraf pembuka yang demikian:
Di balik penampilannya yang sangat tak mengundang ini, terperangkap aroma legit yang menjanjikan kegurihan tanpa basa-basi. Inilah puding hangat dari menu klasik Inggris yang masih setia hadir di Rules, restoran tertua di London berusia 200 tahun.
Paragraf ini mengesankan. Bernas, unik, dan kaya akan nuansa informasi. Saya menangkapnya sebagai paket lengkap informasi mengenai premis, konteks cerita, resume artikel, dan pintu manis untuk masuk ke urutan pertama dari sebuah kronologis.
Paragraf kedua, penulis menyajikan informasi letak restoran sambil memberi tahu kita dengan cara unik bahwa restoran ini istimewa. Paragraf ketiga diawali info cuaca sebagai pengantar menuju praduga positif ramainya pengunjung, disusul penggambaran setting dan interior restoran.
Pada paragraf kelima hingga ketujuh, kita mendapati liputan “zoom in” tentang menu makanan pertama bernama “Steak and kidney pudding”. Penulis berupaya menggunakan seluruh kemampuan “kamera” untuk memberi tahu kita seperti apa menu tersebut. Coba cermati:
Asap tipis segera melesak keluar dari balik irisan bersamaan dengan aroma gurih yang merangsang selera makan. Daging cincang di bagian dalam terasa amat lembut dengan cita rasa gurih asin yang kaya. Siraman saus cokelat tadi memberi sedikit sentuhan manis yang samar. Siapa bilang makanan Barat selalu serba hambar?
Penulis lalu menggunakan tiga paragraf berikut untuk membangun pengantar bagi menu kedua, “Roast partridge”. Disusul paragraf ke-12 untuk mengisi menu ketiga, “Sticky toffee pudding”, sebelum perpindah ke bagian kedua artikel yang diberi subjudul Tiga Keluarga.
Bagian kedua ini menggunakan tiga paragraf untuk mengisahkan sejarah restoran, yang diapit oleh satu paragraf istimewa dan satu paragraf pamungkas untuk mengakhiri artikel. Saya menyebut paragraf ke-13 “istimewa” karena sebenarnya paragraf pembuka bagian kedua ini adalah paragraf penutup bagian pertama. Entah disengaja atau tidak, demikian alur yang kita temukan. Coba deh dibaca:
Tak terasa, sinar matahari mulai jatuh miring dan menembus masuk di sela-sela tirai jendela restoran, menciptakan suasana menjelang sore yang romantis. Teh lemon yang hangat menjadi pengguyur lidah yang tepat setelah bermain-main dengan kelegitan yang gurih hingga manis siang itu.
Penulis dengan cerdas mengakhiri paragraf ke-16 dengan “...dan juga Graham Greene dalam novelnya yang berjudul The End of The Affair” untuk dijahitkan ke paragraf pamungkas yang manis:
Petualang ”affair” bisa saja tutup cerita, namun Rules menjadi lorong waktu yang tetap bertahan, merekam romantika perjalanan zaman di setiap sudut ruangnya....
* * *
Melalui karya Sarie Febriane ini saya belajar bahwa dalam meluncurkan sebuah kisah, cara penuturan yang dinamis akan lebih seru untuk dibaca. Pembaca tidak mudah menebaknya, dan dijauhkan dari rasa bosan—bandingkan bila kita membawa kisah tersebut melewati jalan flat. Lewat paragraf pertama kita sudah diberi tahu, artikel ini akan akan bercerita apa. Namun, rajutan kalimat dan paragraf berikut membuat kita dihindarkan dari ide untuk berhenti.
Kedua, “emotional writing” akan membuat tulisan kita hidup, menggelegak, dan menarik pembaca ke ranah yang melibatkan “hati”—bukan sekadar untaian fakta dan data kering-kerontang untuk konsumsi otak. Pembaca akan merasakan bahwa terdapat jarak di antara penulis dan “objek” yang ditulisnya.
Ketiga, jangan lelah untuk menggurihkan pilihan kata dan rangkain kalimat. Beberapa cara menulis yang bernas ini, sangat berkontribusi membuat saya jatuh hati pada artikel ini. Catatlah misalnya:
- “terperangkap aroma legit”
- “sopan santun yang anggun”
- “cuaca cerah gemilang”
- “asap tipis segera melesak keluar”
- “manis legit dengan sentilan pahit samar yang sopan”
- “sinar matahari mulai jatuh miring”
- “pengguyur lidah”
* * *
Itulah tiga hal utama yang saya pelajari dari artikel “Puding Hangat dari Masa Lalu”. Mungkin terdengar subyektif dan tampak sebagai opini pribadi yang tak berlaku universal. Jikalau memang demikian, abaikan saja, tidak apa-apa kok. Atau ada kemungkinan lain, yaitu saya gagal memuji artikel ini. Untuk yang satu ini, maafkan saya Mbak Sarie.
Demikian pembaca, kiranya bermanfaat. Dan, saya pun ingin mengakhiri tulisan ini di jumlah kata ke-808.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H