Wanda Hamidah, perempuan cantik yang sempat menjadi rising star di dunia aktivis mahasiswa dan kancah politik pasca reformasi, kini terbukti telah memilih turning point, titik balik dalam hidupnya, dengan bijak dan tepat. Maka, hari-hari ini ia pun menikmati hidup dalam suasana indah bulan madu saat mengakhiri masa kesendiriannya pada momen valentin 2015. Jika tidak, hari-hari ini mungkin mantan model ini berada dalam situasi bagai neraka apabila (masih) menjadi Anggota DPRD DKI.
Baginya, satu periode (2009-2014) saja sudah cukup. Secara tersurat, usai menjadi pembicara dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa 2 Juli 2013, Wanda mengemukakan bahwa alasan utama ia mengundurkan diri dari hiruk-pikuk dunia politik didorong oleh kondisi dirinya yang kini harus sendirian mengasuh anak-anaknya. Saat itu, ia berencana untuk berkonsentrasi pada keahlian dan pekerjaan sebelumnya. "Saya bisa kembali ke pekerjaan sebagai notaris PPAT, juga sebagai aktivis di organisasi kemasyarakatan," katanya.
Pernyataan kepada pers itu mendapat penegasan melalui apa yang kemudian ia tulis di blognya dengan tajuk "Mengapa Tidak Mencalonkan Lagi Menjadi Kandidat Wakil Rakyat Pada 2014". Penanda posting itu mencatat: Posted By wandahamidah On Januari 15th 2014. Under Publikasi.
"Tidak mencalonkan kembali untuk menjadi anggota DPRD pada pemilihan umum 2014 merupakan keputusan yang telah saya dipertimbangkan secara seksama," tulisnya mengawali "surat terbuka" itu. "Keputusan untuk tidak mencalonkan diri kembali pada pemilu 2014 dilandasi oleh beberapa pemikiran dan pengalaman-pengalaman nyata pada masa kerja bakti sebagai anggota DPRD Jakarta terpilih dari Partai PAN."
Wanda mengemukakan dua landasan yang menjadi pemikiran dan argumentasinya:
Faktor Internal, menyangkut pergulatan batin klasik seorang “politikus”, yaitu dilema antara ketaatan pada (mandat) partai versus ketaatan pada aspirasi rakyat apabila terjadi konflik atas sebuah kebijakan. Ia menulis, "Wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat seharusnya bertanggung jawab terhadap para konstituen yang memilih perwakilan mereka di parlemen. Namun kenyataannya partai politik yang menentukan dan memutuskan apa yang akan menjadi tanggung jawab dalam memenuhi mandat dan aspirasi rakyat."
Faktor Eksternal, terkait terjadinya "anomali" pada tataran eksekusi atas sebuah program. Dalam hal ini tentu saja terkait erat dengan angka-angka budget. Wanda menulis, "Pada tingkat pelaksanaan program-program yang telah disepakati dan menjadi komitmen bersama tersebut tidak berjalan dengan efektif karena banyak terjadinya tumpang tindih dari perspektif penyusunan peraturan daerah maupun pada tatanan pelaksanaan oleh pihak eksekutif, hal ini berdampal pada faktor penyerapan anggaran yang akhirnya banyak yang tidak tepat sasaran dengan tujuan penyusuan pencapaian program-program dan anggaran yang telah dialokasikan tidak terserap secara efisien."
Jika kita membaca keseluruhan "surat perpisahan" itu, tentu saja kita dibuat agak puyeng oleh santunnya kata dan kalimat yang digunakan. Namun demikian, testimonial Wanda ini tidak layak kita kritisi dari sisi cara berbahasa. Karena meskipun kita telah memasuki era reformasi yang mendekati angka ulang tahun ke-20, bahasa setengah “dewa" masih dibutuhkan apabila Anda tidak ingin “di-Ahok-kan”.
Pilihan tepat. Itulah dua kata yang paling tepat untuk menotifikasi pilihan Wanda ini. Menyandang status artis ternyata tidak berhasil menggerus kandungan intelektual di dalam benaknya dan meredam suara nurani yang bergema di dalam dadanya. Dengan jumlah kata yang lebih singkat, saya hendak menyebut Wanda Hamidah bukanlah orang bodoh. Ia mampu membaca arah angin dan melihat saatnya telah menjelang untuk tidak berkubang dalam kolam yang bukan impian perjuangan reformasi. Dalam bahasa keren ia hendak bilang, “enough is enough”.
Mari kita uraikan sesingkat mungkin arah angin ini. Wanda Hamidah menjadi Anggota DPRD periode 2009-2014. Sebelum pelantikan Jokowi-Ahok menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI pada 15 Oktober 2012, dewan telah bermitra dengan Gubernur Fauzi Bowo sejak 2009. Deklarasi Jokowi sebagai capres PDIP di Rumah Pitung pada 14 Februari 2014. Artinya, dalam menjalan fungsinya sebagai "mitra" Gubernur DKI, Wanda adalah saksi hidup senyata-nyatanya "perbedaan" kepemimpinan dan gaya/pola kepemimpinan Fauzi Bowo dan Jokowi-Ahok. Dan dalam rentang 15 Oktober 2012 hingga 14 Februari 2014, maaf, hanya orang lugu yang tidak melihat kans Jokowi menjadi presiden ketujuh. Apabila Jokowi menjadi presiden, maka konsekuensinya Ahok akan menjadi gubernur. Jika ini terjadi, akan terbukalah poros lurus hubungan presiden dan gubernur DKI.
Namun yang tak kalah lugunya adalah orang-orang yang tidak bisa membaca arah angin ini, dan tetap "maju terus pantang mundur" mencalonkan diri menjadi Anggota DPRD DKI periode 2014-2019. Atau, apabila “apa boleh buat” sudah terpilih, berubahlah dalam cara berpikir dan bertindak dalam menyongsong era transparansi. Eh, ternyata tidak. Maka, dalam "seumur jagung" periode pengabdian wakil rakyat di DKI ini, terjadilah "drama" yang memenuhi pemberitaan media massa dan media sosial hari-hari ini.
Mengapa ini bisa terjadi? Singkatnya, karena “business” saat ini sudah berubah, tidak “usual” lagi.
Alhasil, tak seorang pun patut iri pada hari-hari indah Wanda Hamidah saat ini. Malah sebaliknya, selayaknya kita menjabat tangannya, dan kalau boleh cipika-cipiki dikitlah, serta memberi ucapan pertama "Selamat menempuh hidup baru dan menikmati masa bulan madu". Ucapan kedua? “Selamat, Anda tidak menjadi ‘musuh’ Ahok saat ini”. Hahaha.
Salam bahagia dari saya,
@angtekkhun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H