Mohon tunggu...
Khumaira Siti
Khumaira Siti Mohon Tunggu... -

student at university

Selanjutnya

Tutup

Politik

Signifikansi Pendidikan di Surabaya

24 Juli 2013   19:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:05 818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Surabaya memang bukan kota nomor satu di Indonesia dalam hal prestasi pendidikan. Hasil Ujian Nasional terakhir pun menunjukkan bahwa murid-murid Surabaya bukanlah yang terbaik di Indonesia, atau Jawa Timur sekalipun. Namun, memang bukan itu yang dikejar Bambang Dwi Hartono. "Memang kami berharap ada satu-dua siswa yang mengukir prestasi luar biasa di bidang pendidikan. Tapi sasaran saya yang paling utama bukan itu," kata Bambang. Yang menjadi focus utama adalah pemerataan pendidikan dibandingkan menjadikan satu atau dua orang siswa berprestrasi.

Saat Bambang D.H. baru menjabat sebagai wali kota, sejumlah indikasi menunjukkan bahwa angka anak usia sekolah yang tak bersekolah masih cukup besar Itu bisa dilihat dari Angka Partisipasi Kasar (APK) yang dibawah 100 persen. Begitu juga Angka Partisipasi Murni (APM) Surabaya saat itu masih di bawah 70 persen. Angka anak putus sekolah pun masih di atas satu persen. Disamping itu gap kualitas antarsekolah masih sangat tinggi. Situasi ini menimbulkan dampak yang tak bagus untuk iklim pendidikan. Kondisi demikian turut menciptakan sebuah mental yang tak baik. Sekolah­sekolah favorit menjadi arogan. Sebaliknya, sekolah-sekolah buangan bermental melempem.

Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut gebrakan pertama yang terasa adalah perubahan pada politik anggaran APBD-nya. Pada 2006, ketika APBD Surabaya berkekuatan Rp 1,7 triliun, sektor pendidikan digelontor dengan anggaran sebanyak Rp 345 miliar. Dengan anggaran sebanyak itu, Bambang D.H. mengklaim bahwa Surabaya adalah kota pertama yang menerapkan kebijakan sesuai dengan W Sisdiknas, yakni 20 persen dari total APBD digunakan untuk pendidikan. Anggaran dan persentase anggaran pun terus naik tiap tahunnya. Puncaknya adalah anggaran pendidikan pada 2011, yakni 32 persen dari total anggaran sebesar Rp 5 triliun, atau Rp 1,4 triliun. Dengan anggaran sebesar ini, pemkot bisa dengan bebas berimproviasi untuk menekan angka putus sekolah diakibatkan kekurangan dana.

Dari berbagai usaha yang dilakukan, APK sepanjang 2006-2010 menunjukkan persentase optimal. Misalnya, APK di tingkat SD sudah mencapai angka tertinggi sejak 2006, yakni pada angka 105,2 persen, jauh di atas standar nasional yang hanya mensyaratkan 95 persen.

APK pada tingkat SMA juga sudah mentok sejak 2006, pada 108,11 persen, lagi-lagi jauh di atas rerata standar nasional yang hanya 95 persen. Sedangkan APK pada tingkat SNIP masih agak rendah, yakni baru mencapai 100 persen pada 2010. Namun, itu pun masih lebih tinggi dari standar nasional.

Hal yang sama terjadi pada APM. Meski belum mencapai 100 persen, namun .angkanya terus meningkat tiap tahunnya. Misalnya, APM SD yang pada 2006 mencapai 90,99 persen naik menjadi 92,95 persen pada 2010. Angka putus sekolah juga menunjukkan tren positif. Pada 2011, sudah tak ada lagi anak putus sekolah di Surabaya.

Usai berkutat dengan penyediaan dana, yang perlu dilakukan adalah menyiapkan infrastrukstur sekolahnya. Penyedian infrastruktur ini untuk mengatasi gab yang ada antara sekolah favorit dan bukan. Untuk itu, sejak 2005, Pemkot Surabaya mendesain sekolah-sekolah yang berlokasi di daerah pinggiran. Sekolah ini disulap menjadi sekolah bagus dengan melengkapi fasilitasnya dan mencukupi SDM pendidiknya. Sekolah-sekolah inilah yang disebut sebagai "sekolah kawasan". Salah satu contohnya adalah SMAN 15 yang berlokasi di perbatasan Surabaya- Sidoarjo di Menanggal. Sepuluh tahun lalu, SMAN 15 hanyalah sebuah sekolah di pinggiran Surabaya, tak banyak beda dengan sekolah pinggiran lainnya. Sekarang, SMAN 15 menjelma menjadi sekolah berstandar internasional yang tergolong favorit.

Selama lima tahun program tersebut, dikebut, hasilnya lumayan. Untuk standar ISO, tercatat telah 17 SMP/MTs dan SMA/MA yang telah mendapatkan sertifikasi ISO. Sementara itu, sudah cukup banyak sekolah yang telah berstandar nasional. Pada 2010, ada 45 sekolah setingkat SMP/MTs yang telah berstandar nasional, 32 SMA/MA sudah berstandar nasional, dan 32 SMK yang juga memenuhi kualifikasi standar nasional.

Juga ada peningkatan jumlah sekolah bertaraf internasional. Pada 2010, Surabaya telah mempunyai lima SD/MI yang telah mencapai standar internasional dan masing­masing sepuluh sekolah untuk tingkat SMP/MTs dan SMA/MA.

Untuk sekolah yang terakreditasi, jumlahnya lebih banyak lagi, yakni 192 SD/ MI, 413 sekolah di tingkat SMP/MTs, dan 367 sekolah di tingkat SMA/MA/SMK. Sedangkan, sekolah yang telah memenuhi standar MBS pada 2010 telah mencapai 95 persen dari total sekolah yang ada.

Selain infrastruktur sekolah, pembenahan, juga dilakukan terhadap kualitas SDM pendidikan. Indikator yang dipakai untuk mengukur hal ini ada beberapa. Pertama, tingkat kelayakan guru SD, SMP, dan SMK. Kedua, jumlah guru yang memperoleh sertifikasi. Ketiga, jumlah guru yang , berprestasi di tingkat lokal, regional, maupun internasional. Keempat, jumlah guru yang berkompeten. Dan yang terakhir, jumlah guru yang telah memperoleh Tunjangan Profesi Pengajar (TPP).

Pada tingkat kelayakan, peningkatan jumlah pengajar yang memiliki kualifikasi tinggi benar-benar dikebut. Bila pada tahun ajaran 2004-2005, total guru TK yang memiliki gelar strata 1 sebanyak 1.998 orang dan strata dua hanya enam orang, jumlahnya melonjak pada tahun ajaran 2010-2011. Pada tahun ajaran itu, 16.263 guru TK di Surabaya adalah lulusan S1, dan 46 lulusan S2. Lonjakannya lebih dari 800 persen. Begitu pula untuk guru SD yang lulus Sl. Dari semula 6.889 pengajar, menjadi 52.967 pengajar. Hal serupa terjadi pada guru SD yang bergelar S2. Dari total semula hanya 70 orang, enam tahun kemudian melonjak menjadi 546 guru.

Menilik semua itu, Bambang D.H. telah menunjukkan komitmennya di dunia pendidikan. Meski merasa masih punya utang karena belum ada prestasi siswa individual dari Surabaya yang spektakuler, namun setidaknya Bambang D.H. telah menunjukkan keberpihakannya pada dunia pendidikan.

sumber: Bambang DH: Merubah Surabaya (Ridho Ssaiful Ashadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun