Ibarat pepatah mengatakan: Ada gula, ada semut. Begitulah perumpaan pekarangan yang tak terurus. Gersang kering kerontang, bahkan menjadi ladang empuk bagi para pembuang sampah sembarangan. Dimana ada lahan kosong, seolah menjadi solusi sepihak bagi mereka yang kini kesulitan membuang sampah, khususnya sampah rumah tangga.
Kepadatan penduduk tak hanya terjadi di kota besar saja. Tapi kini juga merata sampai ke pelosok desa. Persawahan maupun pekarangan kini sudah berubah menjadi area perumahan, pemukiman warga. Bahkan sudah mulai jarang dijumpai pekarangan rumah yang luas. Sekedar untuk membuat kubangan sampah rumah tangga saja, seperti tak ada lahan lagi. Ujung-ujungnya, masyarakat harus mengeluarkan uang guna membuang sampahnya melalui pungutan sampah keliling berbayar.
Kesadaran membayar petugas sampah keliling ternyata tidak tertanam dalam diri semua masyarakat. Ada yang acuh tak acuh membuang sampahnya sembarangan. Kadang di sungai, di pinggir jalan, bahkan dengan teganya membuang sampahnya di pekarangan orang lain. Ironis.
Akhirnya dengan dalih sepihak, ditambah tanpa pengawasan si pemilik pekarangan inilah yang pada akhirnya menyebabkan timbul tumpukan sampah di pekarangan orang. Sungguh tak berperi kemanusiaan. Masih mending hanya sekedar membuang sampah rumah tangga, bahkan kadang ada yang tega membuang sampah dagangan di pekarangan orang lain, tragisnya lagi kadang membuang kotoran manusia . Sungguh, tak sedikit pun merasa bersalah atau berdosa.
Pekarangan kami adalah salah satu korbannya. Karena mungkin terbilang tak terurus, jarang kami kunjungi (baca: tilik), justru dijadikan bulan-bulanan tempat pembuangan sampah warga sekitar. Liciknya, mereka sengaja membuang sampahnya tidak di pagi atau siang hari, melainkan di malam hari, waktu dimana jarang orang memperhatikannya.
Padahal pekarangan yang sudah tertumpuk dengan sampah yang bercampur aduk, selain merusak pemandangan juga dapat merusak struktur dan kesuburan tanahnya. Apalagi sampah yang ada adalah sampah plastik yang susah untuk diurai. Bau tak sedap pun menyengat.
Setelah dirasa cukup bersih dan rapi, kami buat pagar sederhana dari bambu-bambu yang ada sebagai pembatas karangan. Bisa juga kami tanami dengan pohon-pohon untuk mengelilingi pekarangan, semisal dengan pohon waru. Seisi pekarangan kami bersihi, bertahap.
Selanjutnya kami tanami lahan yang sudah bersih itu dengan beragam tanaman yang bermanfaat dan mempunyai nilai tambah. Semisal kami tanami dengan aneka pohon pisang, pohon mangga dan tanaman-tanaman obat-obatan seperti: serai, temu lawak, temu ireng, jahe dan sejenisnya.
Kini pekarangan itu telah bersih, rindang dengan pepohonan pisang dan lainnya, tak ada lagi warga yang berani membuang sampahnya disitu. Selain itu, kami juga sering menyambangi kondisi pekarangan terkini, sambil memanen pohon pisang yang sudah tua dan tanaman obat-obatan lainnya. Kehadiran dan perhatian sang pemilik pekarangan ternyata lebih diakui warga, dari pada sekedar tulisan keras berbunyi:Dilarang Buang Sampah Disini!
Imam Chumedi, KBC-28
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H