"Desa mawa cara, negeri mawa ciri". Begitulah satu ungkapan dalam bahasa Jawa yang sering kita dengar. Yang berarti: lain daerah, lain cara. Atau setiap daerah pasti memiliki ciri khas, kebudayaan tersendiri. Tak terkecuali dalam adat atau budaya penyelenggaraan sebuah resepsi atau hajatan. Lain daerah lain acara.
Di daerah Brebes, khususnya di desa Wangandalem, ada adat khusus yang biasa dilakukan masyarakat sekitar sebelum menggelar suatu resepsi, yakni Ngrasul. Ngrasul sebenarnya acara slametan, doa bersama. Namun doa bersama ini dikhususkan untuk meminta keselamatan dan kelancaran resepsi yang akan digelar. Orang yang diundang pun tak terlalu banyak, hanya dari pihak keluarga dan beberapa tetangga dekat saja.
Pelaksanaan Ngrasul, antar desa pun berbeda. Di beberapa desa acara Ngrasul masih menyajikan sesaji lengkap dengan ube rampenya. Sedang di beberapa desa lain, ada yang hanya menyiapkan tumpeng dan nasi brekat untuk para undangan yang hadir.
Bagi yang masih menyajikan sesaji biasanya berisi beragam makanan, minuman maupun piranti lainnya. Dan jika diurai secara detail, semua yang ada dalam sesaji hakikatnya adalah simbol-simbol yang sarat dengan makna. Tidak ada unsur kesengajaan menuju kemusyrikan, melainkan lebih kepada adat, atau sebuah kebudayaan saja. Dan jika diurai, pun sebenarnya simbol-simbol yang ada dalam sesaji, sesungguhnya pengejawantahan dari teks-teks qur'an dan hadits yang mulia maupun simbol dari pesan-pesan kehidupan.
Selanjutnya tersedia pula beberapa makanan (baca: jadah pasar) seperti: kupat, lepet, kue apem. Kupat dalam filosofinya berarti "ngaku ing lepat" mengaku kesalahan. Sedangkan untuk lepet bermakna "yen lepat ojo diampet" yang berarti ketika punya salah jangan ditahan, harus minta maaf. Begitu juga dengan kuwe apem yang merupakan pengejawantahan dari kata "afwan", artinya minta maaf.
Sungguh, ketika diurai satu persatu simbol dalam sesaji atau tumpeng, sarat makna. Dan dalam acara Ngrasul, sesaji dan tumpeng itu masih dijumpai pula. Bahkan terkadang disiapkan tidak hanya satu atau dua tumpeng saja.
Satu hal penting yang harus digaris bawahi, yakni memahami tumpeng dengan sebenarnya dan bukan mengultuskan bahwa dengan sesaji itulah yang membuat keselamatan. Hakekatnya Yang Maha Menyelamatkan adalah Allah SWT.
Imam Chumedi, KBC-28
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H