Pandemi Corona yang tak kunjung reda berdampak pada perayaan Hari Raya Idul Fitri kali ini. Usai sholat Id, tak ada salam-salaman, tak ada silaturahim, tak ada pula kunjung-mengunjungi antar tetangga. Apalagi jalan-jalan ke tempat wisata. Sepanjang jalan raya pun lengang. Kendaraan yang melintas bisa dihitung. Begitu sepi, serasa hambar.
Semua menyadari, semua memaklumi, kita masih dalam suasana pandemi. Meski pintu rumah kita terbuka lebar untuk para tamu, namun hanya beberapa tetangga dekat saja yang bertandang ke rumah. Itu pun dengan tetap mematuhi protokoler kesehatan dalam rangka pencegahan Covid-19. Mereka pakai masker dan cuci tangan pakai sabun sebelum masuk rumah.
Dengan kondisi semacam ini, walhasil sederet kue khas lebaran pun tampak masih utuh. Bahkan ada beberapa toples kue yang masih tertutup rapi, berbalut solasi, merana tanpa tuan dan nyonya yang menyantapnya. Beberapa saudara atau tetangga yang datang pun tak mau berlama-lama.
Tak seperti lebaran sebelumnya, penuh  keceriaan, kumpul sanak saudara, menikmati aneka hidangan bersama. Kami bisa silaturahmi dengan leluasa, ngobrol sana-sini tanpa ada sekat dan jarak. Mereka pun dengan senang menyantap aneka kue khas lebaran, mulai dari nastar, biskuit sampe pada aneka kue kering lainnya. Sebagai shohibul bait pun merasa senang, jika makanan yang disajikan, laris manis dimakan oleh para tamu, sebaliknya. Terasa sedih, bila makanan yang kita sajikan terlihat masih utuh menghiasi meja tamu.
Ketupat
Ketupat adalah makanan khas saat lebaran. Tak sedikit dari kami yang sengaja membuatnya untuk disantap bersama keluarga, saudara atau tetangga yang datang berkunjung saat silaturahim lebaran. Biasanya disandingkan dengan opor ayam atau daging.
Tapi Apa jadinya, ketika hanya sedikit tamu yang datang berkunjung karena efek pandemi Corona. Ya, ketupat pun akhirnya merana, sampai keesokan harinya, masih tersisa. Bahkan beberapa tetangga kami sudah mengantisipasi hal ini. Ia sudah memprediksi tak banyak saudara atau tetangga yang bakal berkunjung. Sehingga ia hanya memesan ketupat dan sayurnya, secukupnya untuk porsi sekeluarganya saja.
Begitu juga dengan aneka kue lebaran lainnya. Nastar misalnya. Sampai hari ini pun tergeletak saja tiada yang memakannya. Beberapa biskuit hanya sesekali dimakan anak-anak saja. Sungguh, menyedihkan.
Hal senada dituturkan oleh Bude Nurul saudaraku yang berprofesi sebagai pembuat aneka kue musiman, seperti lebaran. Lebaran tahun ini sepi, katanya. Pesenan rempeyek yang biasanya mencapai puluhan kilo, tahun ini hanya  beberapa kilo saja, itu pun yang memesan hanya keluarga dekat.
Begitu juga di pusat perbelanjaan seperti supermarket dan mall. Tumpukan biskuit dan kalengan kue khas lebaran masih terlihat banyak. Pembelian menurun. Efek pandemi. Tak banyak sanak saudara yang berkunjung. Biasanya, di daerah kami, Â sekedar untuk buah tangan, kami membawa gula-teh, sirup dan biskuit ke rumah keluarga.
Lebaran kali ini memang sangat berarti. Mengajarkan kita untuk prihatin di tengah pandemi. Tidak menghambur-hamburkan uang. Sederhana, tak berlebihan. Tetap jaga silaturahmi, saling memaafkan, saling memaklumi meski tak harus berkunjung ke sana-kemari.
Imam Chumedi, KBC 028