Hari ini masih seperti hari-hari sejak aku tak lagi menikmati kehadiranmu. Aku kembali merasakan kekosongan mendalam akibat kerinduan yang tak terbalaskan. Maka aku kini sedang memutar memori usang dan berdebu dalam pikiran serta perasaanku. Aku sudah sering mengulang-ulang kejadian masa lalu, menimbang-nimbang masa kini dan menerka-nerka masa depanku. Dan aku kian tersesat dibuatnya.
Aku mulai membuka lembar demi lembar buku hijau kecil yang menjadi catatan kisah hidup kita. Berbagai air muka kucerminkan saat membaca dan membayangkan kejadian yang kutulis ke dalam catatan itu. Masih ingatkah kau saat kita pertama kali bertemu? Atau saat pertama kali kita berkenalan? Ceritanya memang tidak se-dramatis kisah-kisah yang aku tonton di tv, tapi sungguh, aku percaya pada takdir.
Catatan ini layaknya sebuah kaset rekaman hidup kita yang tidak bisa didokumentasikan. Tapi aku seperti sedang menonton kau dan diriku sendiri di atas lembaran-lembaran coretanku ini. Aku menonton kita sedang memandang lautan biru dibawah atap alang-alang. “Andai kau pantai yang indah, kan ku belai dengan ombakku. Andai kau sebuah pelangi, aku pasti jadi langitmu” rayuan itu keluar saja dari bibir tipismu. Aku tahu rayuan itu sudah diluar kepalamu sejak dulu kala. Dan mungkin sudah melelehkan sejuta wanita yang kau dekati. Tapi jujur saja, siang itu, mendengar kata-kata itu, aku menjadi salah satu dari sejuta wanita itu. Lalu aku melihat kita berteduh dari derasnya hujan didepan ruko yang sedang tutup. Kita berdiri seperti orang dungu yang kelaparan. Tiba-tiba disampingmu lewat anjing dan kau pindah ke sampingku. “Takut anjing?” tanyaku. “Enggak, disana becek”. Aku tertawa dalam hati.
Entah karena apa aku bersamamu. Entah karena apa kau disampingku. Aku tidak pernah memikirkan alasannya. Buku hijau ini terlalu manis untuk dibaca. Aku menutupnya dengan kasar. Entah emosi entah apa yang membuatku mengingat kalau kau tidak lagi membersihkan noda saus diujung bibirku, kalau kau tidak lagi menanti kehadiranku ditengah malam, kalau kau tidak lagi hadir dipagiku yang mendung, kalau kau tidak lagi mendengar ocehanku yang tidak penting.
“Haruskah aku pergi dan mencari penggantimu, sayang? Agar kau datang lagi dan perjuangkan keberadaanku. Haruskah aku lari dan menggenggam tangan orang lain, sayang? Agar kau mendekapku dan berjalan lagi bersamaku. Sayang, pulanglah. Aku merindukanmu. Pulanglah.. lalu akan kubelai lelahmu”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H