Ada sebuah tesis mengatakan bahwasanya “Hidup adalah Pilihan”. Namun, saya kurang sependapat dengan pernyataan tersebut. Menurut saya, kita hidup bukan untuk mencari dan menentukan pilihan. Tapi sebaliknya, kita memilih bagaimana kita bisa bertahan hidup entah hidup dalam berkeluarga, bermasyarakat maupun dalam kehidupan beragama. Jadi, Islam sebagai agama yang saya anut bukanlah pilihan dalam menjalani kehidupan, namun dalam kehidupan ini kita dituntut untuk memilih agama sebagai pedoman hidup atau hanya sebagai pelengkap hidup?
Sleman, Selasa Kliwon 15 Juni 1993 sekitar pukul 12 siang, lahirlah seorang bayi mungil, imut dan innocent bernama Khrisnanda Satya Permana Putra yang kini kerap dipanggil dengan nama Khrisna, Nana, Nanda, or whatever you want. Bertempat tinggal di sebuah komplek perumahan yang bernama Griya Arga Permai Jl. Bromo F-13, Kwarasan, Nogotirto, Gamping, Sleman. Lahir dikalangan keluarga beragama Islam dan tanpa sadar sayapun di-Islam-kan. Jadi bias dibilang agama Islam yang saya anut karena keturunan. Dalam kehidupan keluarga maupun lingkungan tempat tinggal, saya hidup sebagaimana bocah kecil yang polos yang belum sepenuhnya mengerti tentang arti serta makna agama yang saya anut dan percaya. Doktrin-doktrin keagamaanpun perlahan di suntikkan.
Jenjang pendidikan pertamaku adalah Taman Kanak-kanak Al-Muttaqin, yang berada satu komplek dengan tempatku tinggal. Islamic Studies perlahan mulai ditanamkan. Mulai dari membaca syahadat, rukun islam serta iman, sampai percaya dengan adanya surga dan neraka. Saat itu, saya sangatlah tidak mengerti atau mungkin lebih tepatnya belum sepenuhnya mengerti tentang agama Islam. Ya memang benar, di TK saya baru di beri pendidikan dasar mengenai Islam. Dan sebagai anak kecil sebagaimana mestinya, saya hanya meng-iya-kan apa yang diajarkan ibu guru.
Semasa TK, saya di ikutkan oleh orang tua ke dalam sebuah pendidikan dan pelatihan baca dan tulis Al-Qur’an atau yang sering kita sebut TPA (Taman Pendidikan Al-Qur-an). Disana, saya mulai mengerti huruf-huruf selain huruf alphabet, yaitu huruf hijaiyah. Mulai dari alif ( ﺄ ) sampai dengan ya ( ﻲ). Dari wahidun, isnaini, salasatun, dll. Senin sampai Rabu mulai ba’da Ashar sampai menjelang Maghrib, rutin saya lakukan demi menuntut ilmu keislaman yang telah dianjurkan orang tua.
2 tahun sudah saya menempuh pendidikan di Taman Kanak-kanak. Kini masuklah saya ke jenjang pendidikan di Sekolah Dasar Petinggen II. Sebuah sekolah negeri yang mata pelajaran agamanya hanya diajarkan secara umum saja. Disana saya kurang begitu mendalami pelajaran agama, karena hanya 1 pertemuan dalam seminggu. Tapi, saya tetap mengikuti TPA di komplek saya. Rutinitas secara kontinyuitas yang bertahap, perlahan mulai memupuk pemahaman tentang Islam dan hanya dapat meng-iya-kan apa yang diajarkan kepada saya. Baik pelajaran di bangku sekolah dan di pembelajaran di TPA.
Di SD Petinggen, saya mendapatkan pemahaman tentang agama seperti layaknya teman-teman seumuran saya. Dan ketika saya di beri pertanyaan mengenai Islam, saya hanya dapat menjawabnya setahu dan sepemahaman saya sebagai bocah kecil yang sedang belajar tentang agama. Tidak ada yang menonjol tentang agama islam di hidup saya. Sholat lima waktu karena disuruh orang tua, berangkat TPA setiap Senin-Rabu, puasa di bulan Ramadhan yang setiap pagi setelah sholat subuh berjamaah di masjid selalu bermain petasan disekitar komplek perumahan.
Kelas 3 SD, saya berhenti mengikuti TPA dan masih pada tingkatan Iqra’ jilid 4. Keputusan saya untuk berhenti sebenarnya dikarenakan kemalasan saya untuk belajar baca tulis Al-Qur’an. Sejak saat itupun jarang sekali saya membaca Al-Qur’an. Sampai saat menjelang kelulusan, syarat kelulusan adalah dapat baca tulis Al-Qur’an. Sebenarnya saya tidak begitu pandai dalam hal tersebut. Tapi Alhamdulillah saya dapat melalui test tersebut dan akhirnya saya dapat lulus SD.
Lulus SD saya melanjutkan Sekolah Menengah Pertama 8 Yogyakarta. Sama seperti halnya ketika dulu saya masih SD yang pendidikan agamanya hanya diajarkan secara umum. Tidak lebih pemahaman agama saya ketika SMP dulu. Bisa dibilang semakin parah. Hampir selama duduk di bangku SMP, saya tidak pernah baca tulis Al-Qur’an. Ya karena pergaulan yang membuat saya seperti ini.
Suatu ketika diadakan test baca tulis Al-Qur’an. Karena sudah lupa semua pelajaran tentang agama, saya kurang dapat mengikuti test tersebut. Test terdiri dari test baca Qur-an, hafalan surat-surat, hingga praktek sholat. Tapi Alhamdulillah test tersebut dapat saya lalui walau hanya seadanya dan semampunya.
Kelulusan pun tiba, kini saya dibingungkan dengan akan dibawa kemana ijazah SMP saya. Saya bingung akan melanjutkan ke SMA Negeri atau SMK. Saya ingin sekali masuk kesebuah Sekolah Menengah Kejurusan dan mengambil jurusan senirupa. Saya sangat ingin masuk SMK 3 jurusan seni rupa atau yangg lebih dikenal dengan SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa). Karena memang hobi saya tidak jauh dari seni rupa, saya meminta izin kepada orang tua agar di masukkan ke sekolah tersebut. Namun orang tua saya melarang dengan alasan bakat seni yang saya miliki dapat dikembangkan sendiri dan tidak harus mendapatkan pengalaman dengan sekolah di SMSR. Di SMSR dikenal siswa-siswanya yang urak-urakan dan nakal. Dengan alasan tersebut, ayah saya melarang dan merekomendasikan agar saya masuk ke Madrasah saja dengan tujuan agar pemahaman mengenai agama islam dapat banyak diperoleh disini dan karena kakak saya lulusan Madrasah juga. Akhirnya saya memutuskan untuk masuk ke Madrasah Aliyah Negri Yogyakrta 1.
Tidak terbayang bisa masuk ke sekolah setara SMA yang berbasis agama Islam. Saya tidak membayangkan mata pelajaran yang berbau agama islam disendiri-sendirikan. Ada Al-Qur’an dan Al-Hadist, Fiqh, Bahasa Arab, Sejarah Kebudayaan Islam dan lain-lain yang sebelumnya tidak diajarkan ketika SMP. Setiap pagi diadakan tadarus bersama selama 10 menit sebelum pelajaran dimulai dan ini membuat saya mau tidak mau harus membaca Al-Qur’an setiap pagi.
Di MAN Yogyakarta 1, tempat aku menuntut ilmu, terdapat sebuah program bernama Matrikulasi baca Qur’an. Dimana siswa-siswi yang dalam membaca Al-Qur’an belum lancar diajarkan secara khusus dan intensif agar siswa-siswi mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Saya termasuk golongan siswa yang kurang pandai dalam baca Qur’an dan saya diberi bimbingan khusus. Ketika saya ditanya guru pendamping, saya memberitahu bahwa selama ini saya baru sampai Iqra’ jilid 4. Kemudian guru pendamping mengajarkan saya membaca Iqra’ jilid 5, jilid 6, Juz Amma, dan kemudian diajarkan langsung membaca Qur’an. Sedikt demi sedikit saya mulai lancar membaca Qur’an. Begitu seterusnya sampai saya lulus dari MAN Yogyakarta 1.
Setelah lulus dari bangku Madrasah Aliyah Negri Yogyakarta 1, masuklah saya ke salah satu perguruan tinggi negri yang ada di Yogyakarta, yaitu Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora mengambil Program Studi Ilmu Komunikasi tahun angkatan 2011 yang tidak jauh beda saat menuntut ilmu di MAN Yogyakarta 1 dengan pendidikan dan pelajaran keislamannya. Dalam mars UIN Sunan Kalijaga terdapat sebuah lirik berbunyi “Integrasikan – Interkoneksikan Agama dan ilmu semesta” jadi dapat dijelaskan bahwasanya hal yang sebenarnya sekuler, dapat di satu padukan menjadi sebuah hal baru. Contoh saja Ilmu Komunikasi yang di integrasi-interkoneksi dengan ilmu-ilmu keislaman.
Di sini, di kampus ini, saya menambah pemahaman mengenai Islamic Studies dari dosen saat mengajar dikelas, dari teman saat obrolan-obrolan ringan, sampai saat berkumpul di warung kopi dan membahas suatu bahasan. Sejak saat itulah hampir setiap hari saya nongkrong di warung kopi Blandongan Kopi Priboemi untuk sekedar minum secangkir kopi, bermain kartu seven skop, menghisap beberapa batang rokok disertai obrolan ringan yang berujung diskusi hangat seputar bangku perkuliahan, soal percintaan, permasalahan dosen dengan mahasiswa, matakuliah yang sedang ramai dibicarakan, entah matakuliah komunikasi atau agama, sampai membahas tentang theology keislaman.
Suatu malam, saat seperti malam biasanya, secangkir kopi memulai pembicaraan saya dengan beberapa orang teman yang lain yang sering disebut forum KAFIR (Kajian Filsafat Islam Revolusioner). Awal mula membahas tentang hakekat dasar agama islam. Mulai dari penafsiran sebuah kata yang terdapat dalam suatu surat di Al-Qur’an. Namun lama kelamaan pembahasan berujung pada theology islam. Yang menjadi pertanyaan adalah tentang keberadaan Tuhan. Kapan lahirnya Tuhan. Dan semua yang menjurus ke hakekat dasar ketuhanan. Memang dalam pembicaraan waktu itu tidak memiliki titik terang perihal Tuhan, dan akhirnya kita sudahi diskusi kita malam itu.
Rutinitas diskusi diluar bangku perkuliahan seperti ini terkadang membuat saya berpikir kembali tentang kebenaran yang saya anut, yaitu agama Islam. Apakah semua yang saya lakukan ini benar? Apakah semua ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad SAW akan menuntun kita ke jalan yang benar? Selalu muncul perrtanyaan-pertanyaan baru. Dari semua ini, yang saya takutkan adalah ketika iman saya sedang tidak kuat, dan di jejal pemikiran-pemikiran seperti itu, di khawatirkan setelah berdiskusi di forum “KAFIR” saya menjadi seorang kafirun. Untuk itu, setelah berdiskusi saya hanya menganggap semua yang di bahas adalah pemahaman-pemahaman baru mengenai Islam dan kajiannya dari berbagai perspektif yang berbeda-beda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H