Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... -

Penulis dan Motivator Pembelajaran

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pembunuh Parakang

7 Januari 2011   17:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:51 1211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pembunuh Parakang

Jika ada yang bertanya padaku apa sebenarnya yang paling ingin aku lakukan selama hidup di dunia, jawabanku pasti selalu sama: Membunuh Tutu. Tapi bila dicecar lagi, kenapa sehingga aku ingin membunuhnya, jawabannya ialah karena dia telah merampas segala yang bisa membuatku bahagia sepanjang hidupku. Mula-mula dia membunuh Ibuku, lalu dia rebut gadis idamanku. Maka, tidak akan tenang hidupku selama Tutu masih hidup. Bukan itu saja, setiap hari aku disergap sejenis rasa tak terjelaskan, semacam kehilangan sesuatu yang tidak kuketahui atau perjalanan jauh yang tak pernah sampai ke tujuan atau hasrat yang tak tercukupi.

Padahal aku memiliki segalanya. Istri-istri yang hebat, anak-anak yang berbakat, kemuliaan derajat, juga harta berlimpah yang tak bakal habis hingga tujuh turunan. Apa yang kurang dalam hidupku? Ada. Aku sangat menghasrati seseorang: Natisha Daeng Lebang!

Dan keinginan itu sulit kupenuhi selama Tutu masih hidup.

[2]

Hiduplah, Rangka, hidup. Itulah yang selalu kubisikkan kepada diriku sendiri, acapkali bayangan Natisha—yang lebih suka kupanggil Lebang—menari di benakku. Dia perempuan dengan kecantikan alami tanpa banding. Aku sudah melihat dalam hidupku banyak perempuan yang kuakui cantik, tapi dia selalu lebih cantik dari itu semua. Setiap pagi dengan seragam dokter dia melintas di depan rumahku dan selalu membiarkan dia leluasa melenggang. Aku tak pernah menyapanya. Hanya sesekali kucoba mengirimkan selengkung senyum sambil berpikir, “Dia milikku, ya, ku.”

Tapi dia milik Tutu. Aku sadari itu. Hanya saja, sesuatu di bagian lain dalam hatiku selalu menegaskan kata yang berbeda, “Sudahlah, abaikan saja nama Tutu. Peduli setan!” Dan, dengan kata-kata itulah aku menjalani hidup. Sekalipun andaikata itu akan menimbulkan penderitaan, aku tetap akan merebut Lebang dari Tutu. Aku bukan orang yang suci. Malah, bila boleh aku ungkapkan hal sebenarnya, aku culas. Lancung. Dulu, lama sekali, aku merasa telah kehilangan sesuatu dalam hidupku ketika mendengar kabar percintaan Lebang dan Tutu. Sekarang aku disiksa rasa irihati karena Tutu dicintai oleh Lebangku, Natishaku.

Apakah mereka, Lebang dan Tutu, memahami keinginanku?

Tidak! Buktinya mereka sering pamer kemesraan di depanku manakala paddekko—musik perkusi dengan lesung dan alu sebagai alatnya—setiap pesta panen digelar, atau ketika berlangsung ritual ajje’ne’-je’ne sappara—mandi massal menyongsong bulan Syafar di Pantai Tamarunang, atau saat ammotoki batara—tradisi gotong-royong pascapanen jagung.

Sungguh! Pada saat seperti itu merasuk hasrat di hatiku: Membunuh Tutu!

[3]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun