Mohon tunggu...
khozanah hidayati
khozanah hidayati Mohon Tunggu... -

Aku hanya seorang ibu rumah tangga biasa dengan 4 putra, tinggal di kota kecil Tuban Jatim

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Memaknai Ulang Sumpah Pemuda

28 Oktober 2010   02:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:02 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kedua: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengaku berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mengjoengjoeng bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.

Demikianlah teks asli Sumpah Pemuda yang dibacakan pada penghujung Kongres Pemuda kedua pada 28 Oktober 1928, di Jakarta. Dan hari ini tepatnya 28 Oktober 2010, sudah 82 tahun yang lalu sumpah tersebut diikrarkan. Apakah makna dan semangat Sumpah Pemuda itu masih relevan bagi bangsa Indonesia saat ini? Walau banyak warga bangsa termasuk para pemudanya, tidak hafal teks Sumpah Pemuda tersebut, tidak berarti pemuda masa kini tidak lagi berjuang dan tidak mempunyai rasa nasionalisme. Karena secara umum perjuangan yang perlu dilakukan saat ini tentunya sudah sangat berbeda dengan perjuangan yang perlu dilakukan oleh para pemuda saat itu.

Sumpah Pemuda merupakan tonggak sejarah berdirinya negeri ini, Republik Indonesia. Pada saat penjajah Belanda masih sangat berkuasa, pemuda-pemudi Indonesia dengan gagah berani mengambil risiko dengan pertaruhan jiwa dan raganya, memproklamasikan diri sebagai bangsa yang mandiri, bangsa Indonesia. Saat ini pemuda dan pemudi Indonesia juga terus berjuang. Hanya saja, bentuk perjuangan yang mereka lakukan jelas berbeda dibanding perjuangan pemuda tahun 1928. Sudah semestinya semangat Sumpah Pemuda ini harus dimaknai ulang menyesuaikan dengan kondisi dan situasi mutakhir yang dialami bangsa saat ini.

Suasana tahun 1928 jelas jauh berbeda dibanding apa yang tergambar saat ini.

Yang pasti pemuda dan pemudi Indonesia tak akan pernah berhenti berjuang. Jika dulu berjuang agar bangsa ini lepas dari penjajahan, kini berjuang untuk mendapat pendidikan bermutu dengan biaya terjangkau, berjuang untuk mendapat pekerjaan, berjuang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, berjuang membantu masyarakat agar lepas dari berbagai tekanan sosial ekonomi lainnya yang sangat begitu mendera, serta yang lebih penting adalah berjuang agar pemberantasan korupsi benar-benar ditegakkan di negeri ini dan juga tegaknya penegakan hukum yang tidak kenal kompromi dan berjuang demi dilibasnya mafia hukum, mafia peradilan, mafia pajak dan mafia-mafia yang lainnya.

Mempertimbangkan  begitu banyaknya masalah yang harus diperjuangkan, tentunya perlu diadakan perenungan yang lebih mendalam dan kemudian menentukan skala prioritas dalam membereskan permasalahan-permasalahan tersebut. Diharapkan kalau penanganan permasalahan tersebut sesuai skala prioritasnya, maka segala kesemerawutan permasalahan yang mendera bangsa ini niscaya bisa dibereskan dengan mudah dan dalam waktu relatif singkat.

Kalau direnungkan dan dipertimbangkan secara mendalam, cukuplah jelas bahwa kebobrokan dan pangkal permasalahan bangsa saat ini adalah merajalelanya kasus korupsi di segala sektor kehidupan dan di semua level pemerintahan dan bahkan di sektor swastapun sudah digrogoti virus korupsi, dan patut disayangkan ternyata sebagian masyarakat hanya mendiamkannya karena menganggap ini adalah suatu hal yang wajar dan “sudah membudaya”, namun untungnya masih ada sebagian masyarakat yang tetap sadar dan peduli terhadap bahaya  korupsi ini dan terus mengkampanyekan untuk memberantasnya.

Coba kita ikuti paparan penyebaran dan keparahan tingkat korupsi di negeri ini. Untuk korupsi di daerah saja, Jumlah kepala daerah yang menjadi tersangka, terdakwa, hingga terpidana kasus korupsi cukup memprihatinkan, yaitu 125 kepala daerah dari 524 kepala daerah yang ada di negeri ini (Data sampai pertengahan tahun 2010 dari Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri). Ini berarti sekitar 24 persen kepala daerah (terindikasikan) melakukan korupsi. Sungguh sangat ironis, karena seorang kepala daerah otomatis akan menjadi panutan masyarakat. Kalau kepala daerahnya saja melakukan korupsi maka (sebagian besar) masyarakatnya akan mengikutinya atau minimal mentolelirnya. Ingat bahwa budaya patriakhi masih sangat berkembang di masyarakat kita.

Di sektor penegakan hukum, juga sangat marak sekali apa yang diistilahkan mafia peradilan atau mafia hukum. Coba kita ikuti peradilan atas kasus mafia pajak dengan aktor utama Gayus Tambunan. Dari sana bisa dilihat betapa mudahnya para aparat penegak hukum mulai dari polisi, jaksa dan hakim serta pengacara mempermainkan hukum demi bagi-bagi uang hasil korupsi pajak. Dan kasus ini bisa diibaratkan fenomena puncak gunung es, yang kelihatan dan diajukan ke pengadilan satu namun sejatinya ribuan kasus ada di masyarakat namun tidak tampak dipermukaan.

Terhadap kebocoran anggaran sendiri bisa disimak apa yang diungkapkan oleh mantan Ketua Bapenas Kwik Kian Gie, dia pernah menyebut lebih dari Rp 300 triliun dana (sekitar 30% dari APBN), baik dari penggelapan atau kebocoran APBN maupun penggelapan hasil sumberdaya alam lainnya menguap masuk ke kantong para koruptor.

Adapun menurut data dari ICW (September 2010) bahwa besarnya kebocoran APBN kita adalah sebesar 30% dan besarnya kebocoran disektor pemasukan pajak bahkan lebih menggila lagi yaitu setengah dari total pajak yang masuk.

Perkiraan besaran kebocoran pajak dan potensi pajak yang masih bisa digali, bisa didekati dengan angka rasio pajak terhadap PDB (Produk Domistik Bruto). Besarnya rasio tersebut saat ini adalah hanya sekitar 12,1% atau berkisar Rp 720 triliun dari total PDB yang sebesar Rp 5.981 triliun. Dari jumlah PDB yang segitu, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) hanya ditarget bisa menjaring pajak sebesar Rp 611 triliun. Padahal kalau rasio pajak dinaikkan ke angka ideal 16% (sebagaimna rasio pajak terhadap PDB seperti di negara tetangga), maka target penerimaan pajak diharapkan dapat mencapai angka sekitar Rp 950 triliun.

Dari uraian dan gambaran di atas bisa diambil gambaran bahwa kebocoran uang negara akibat korupsi anggaan dan korupsi pajak sungguh sangat memprihatinkan sekali karena kebocorannya bisa berada dikisaran Rp 600 trilyun, atau 60% dari nilai APBN saat ini, suatu angka yang cukup fantastis bukan?

Dengan adanya kebocoran yang sedemikian besar, maka tentunya hal ini menimbulkan inefesiensi di segala lini kehidupan. Maka kalau korupsi benar-benar bisa diberantas, tentu efeknya juga semakin  nyata, misalnya ekonomi biaya tinggi bisa dihapus sehingga investor berbondong-bondong menanamkan modalnya di negeri ini kemudian terbukanya lapangan kerja baru, meningkatnya kwalitas pembangunan infrastruktur, meningkatnya pelayanan publik, bertambah besarnya anggaran yang bisa dinikmati rakyat, meningkatnya percepatan pembangunan di daerah-daerah, dan lain sebagainya.

Dan akhirnya dengan berhasilnya pemberantasan korupsi, maka APBN  akan bisa terus dikembangkan dan bahkan bisa berlipat- lipat dari yang ada sekarang ini. Sehingga kalau itu benar-benar bisa diterjadi maka dalam dua kali masa pemerintahan seorang presiden (10 tahun) segala permasalahan yang dipaparkan di atas bisa diatasi dengan mudahnya.

Pendidikan bagi semua warga bangsa bisa digratiskan, mulai dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah umum atau kejuruan dan biaya di perguruan tinggi bisa ditekan akibat subsidi pendidikan oleh pemerintah dinaikkan sehingga bagi yang tidak mampu namun berpotensi tinggi bisa melanjutkan dengan biaya yang ditanggung oleh negara.

Demikian juga di sektor kesehatan masyarakat. Tidak akan ada lagi masyarakat yang kesulitan berobat karena ketiadaan biaya. Dan segala macam mahalnya biaya kesehatan akan tamatlah riwayatnya, karena dengan bertambahnya APBN yang signifikan pemerintah bisa meningkatkan mutu kesehatan masyarakat. Begitu juga rumah sakit – rumah sakit tipe A akan bisa dibangun di setiap kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Dan obat-obatan serta pelayanan medis yang handal dan memadai bisa dengan mudah dijangkau dan dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.

Disektor transportasi publik, tentunya akan maju sekali, tidak akan lagi ditemui jalan-jalan yang rusak, dan bahkan jalan-jalan tol atau arteri akan bermunculan dan membentang mulai dari Banda Aceh sampai Bandar Lampung di Sumatera, baik lintas Timur maupun lintas Barat plus jembatan Selat Sunda, mulai dari Merak sampai Banyuwangi di Jawa baik jalur Utara, jalur tengah maupun jalur Selatan plus jembatan Selat Bali, mulai dari Gili Manuk ke Matram di Bali dan Nusa Tenggara, dan juga selesainya jalan Trans Kalimantan, Trans Sulawesi dan Trans Papua. Dan untuk ibukota Jakarta sendiri tidak akan ditemui kemacetan yang sangat semrawut lagi karena public transportation sudah demikian maju dengan subway dan monorailnya.

Di sektor energi, tidak dikenal lagi listrik yang “byar pet”, tidak dikenal lagi “bom elpiji” dan tidak dikenal lagi ribut-ribut akibat kenaikan harga BBM maupaun kenaikan TDL, karena pemerintah sudah cukup mampu mengatasi kesemerawutan perihal pengadaan energi nasional dengan adanya kenaikan APBN yang sangat signifikan tersebut.

Dari uraian tersebut di atas, maka haruslah dicetuskan, diikrarkan dan dijadikan gerakan nasional bahwa korupsi haruslah diberantas sampai akar-akarnya dan ini harus dijadikan prioritas untuk mengurai segala permasalahan bangsa ini. Agar semua permasalahan bangsa yang sangat memyusahkan masyarakat dan menjadi ganjalan untuk menuju masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita bangsa bisa terlaksana segera.

Untuk itu dengan datangnya peringatan Sumpah Pemuda yang ke 82 tahun ini perlulah digaungkan dan diikrarkan suatu sumpah untuk seluruh warga bangsa (tidak hanya oleh pemuda saja) perihal janji dan tekad untuk memberantas segala macam bentuk korupsi. Atau dengan kata lain kita harus memaknai ulang terhadap semangat Sumpah Pemuda, bukan untuk membangun suatu bangsa dan negara lagi namun untuk memberantas korupsi dan mafia perpajakan, mafia hukum, mafia peradilan dan mafia-mafia lainnya. Dan hal ini harus dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, tidak hanya oleh para pemuda. (19 Oktober 2010).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun