Sunat Perempuan dalam Pandangan Agama
Banyak orang yang menduga bahwa penyunatan perempuan dimulai dari lahirnya Islam, padahal tradisi penyunatan ini sudah dilakukan jauh sebelum periode Islam, tradisi sunat perempuan dilakukan oleh masyarakat dalam berbagai latar belakang kepercayaan. Penyunatan perempuan di kenal di Eropa sampai akhir abad ke-19, seperti Mesir, Sudan, Somalia, Etiopia, Kenya, Tanzania, Ghana, Guinea dan Nigeria.
Catatan masa alalu menyebukan bahwa di masa kerajaan Pharaoh atau Mesir Kuno dan Herodotus menyebutkan adanya penyunatan perempuan sudah ada 700 tahun sebelum Kristus lahir. Dari situlah mengapa tradisi sunat perempuan di Sudan di sebut "pemotongan Pharaoh".
Dalam sebuah hadist, pernah dikatakan oleh Rasulullah SAW kepada Ummu Athiyyah, seorang perempuan yang bekerja sebagai pengkhitan di Madinah. Rasulullah berkata: "jangan engkau merusak (kelaminnya), karena hal itu merupakan kehormatan bagi perempuan". (HR. Abu Daud)
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu al-Mundzir, al-Syaukani, Mahmud Syaltut, Sayyid Sabiq, Wahbah al-Zuhaily, Muhammad al-Banna dan Anwar Ahmad, bahwa dasar hukum yang berkaitan dengan khitan perempuan lemah (dhoif) dan tidak sah.
Dan pendapat dari mayoritas ulama dari madzhab fikih menyatakan bahwa hukum yang berkaitan dengan khitan perempuan sifatnya tidak wajib, bahkan tidak sampai kepada sunnah.
Perjuangan Memberantas Tradisi Sunat PerempuanÂ
Persoalan tentang sunat perempuan di Indonesia dapat dikatakan merupakan isu yang cukup sensitif dan kompleks, hal tersebut diungkpakan oleh Irwan Hidayana, salah satu Antropolog dari Universitas Indonesia. Tradisi sunat perempuan dihadapkan oleh berbagai kebingungan, seperti pertentangan medis, tradisi dan agama. Menghapuskan praktik sunat perempuan bukan perkara yang mudah.
Hal yang dapat mengurangi tradisi sunat bagi perempuan ialah faktor pendidikan orang tua. Sebagian orang tua yang berpendidikan memilih untuk tidak menyunat anak perempuannya. Dikutip dari Mubadalah.id bahwa keluarga besar Gus Dur juga tidak sama sekali melakukan sunat terhadap anak perempuannya. Belum lama ini Kongres KUPI II menghasilkan bahwa tindakan P2GP yang membahayakan dan tanpa alasan medis adalah haram.
Dan menurut salah satu tokoh feminis Indonesia, Farha Ciciek Assegaf mengatakan bahwa fenomena penyunatan perempuan adalah bentuk dari budaya patriaki yang mengontrol dan mengebiri tubuh perempuan.
Nawal juga mengatakan dalam bukunya, jika tradisi ini berlandaskan agama, mana mungkin Tuhan menyuruh manusia untuk memotong sebuah organ yang ia ciptakan, padahal organ itu bukanlah penyakit atau cacat? Tuhan menciptakan klitoris sebagai organ seksual yang sensitif, yang fungsi satu-satunya agar mendapatkan kenikmatan seksual.