Pala Indonesia Terkontaminasi Aflatoksin?
Meski diminati, sejak 2009 pala Indonesia mengalami beberapa kali penolakan dari Uni Eropa. Bahkan pada 2016 -- 2017, terjadi 31 kali penolakan ekspor pala kita. Masalahnya ada pada kualitas dan standar mutu komoditas. Kabarnya, pala Indonesia terkontaminasi aflatoksin dalam jumlah yang melebihi batas maksimum yang ditetapkan, yaitu 5 ppm untuk aflatoksin B1 dan aflatoksin total 10 ppb.
Aflatoksin merupakan senyawa racun yang dihasilkan oleh cendawan (mikotoksin) golongan Aspergillus. Dua jenis cendawan yang dikenal menghasilkan aflatoksin yaitu Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Aflatoksin cukup berbahaya dan berpotensi mengancam kehidupan manusia serta hewan karena bersifat karsinogenik (dapat menimbulkan kanker).
Terkait kandungan aflatoksin dalam pala Indonesia, Uni Eropa telah menetapkan Regulasi Uni Eropa (EU) Nomor 2016/24 yang diberlakukan sejak 2 Februari 2016. Regulasi tersebut mewajibkan ekspor pala dari Indonesia dilengkapi dengan sertifikat kesehatan (health certificate) yang dikeluarkan oleh Otoritas Kompeten di Indonesia dengan melampirkan Certificate of Analysis (CoA) kandungan cemaran aflatoksin yang memenuhi persyaratan Uni Eropa.
Mengapa kasus aflatoksin ini baru muncul, padahal telah sekian lama pala Indonesia malang melintang di pasar dunia? Inilah bukti 'sakti'nya aturan WTO dalam perdagangan bebas internasional.
Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) telah menetapkan regulasi yang melarang anggotanya melakukan hambatan perdagangan, kecuali ada alasan yang dapat diterima secara ilmiah. Regulasi ini dimaksudkan untuk mendorong penurunan hambatan tarif (tariff barrier) sehingga arus lalu lintas perdagangan antarnegara semakin terbuka.
Tentu, regulasi WTO ini membuat setiap negara berusaha mencari alasan yang dapat diterima secara ilmiah untuk mengantisipasi derasnya aliran impor. Jelas saja, negara butuh memberikan proteksi terhadap produk dalam negerinya. Nah, salah satu senjata yang sering digunakan yaitu Perjanjian SPS (Sanitary and Phytosanitary).
Perjanjian SPS membenarkan setiap negara anggota memberlakukan peraturan sanitasi dan phytosanitasi terhadap barang-barang impor yang masuk ke negaranya dengan alasan melindungi keselamatan dan kesehatan manusia, hewan, serta tumbuhan. Namun, implementasi SPS tidak boleh menimbulkan diskriminasi ataupun menciptakan hambatan terselubung terhadap perdagangan internasional dengan dalih sebagai upaya perlindungan. Oleh karena itu, setiap standar yang ditetapkan masing-masing negara harus berdasarkan pada analisis risiko dan kajian ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.
Lalu bagaimana dengan pala kita? Tidak ada pilihan, kita harus responsif terhadap perkembangan regulasi perdagangan bebas agar tetap bertahan dalam iklim yang semakin kompetitif.
Memperbaiki Kualitas, Butuh Pendekatan Kultural
Bicara mengenai aflatoksin, saya langsung teringat cara budidaya dan penanganan hasil panen yang dilakukan petani pala. Seperti yang saya kemukakan di awal, mereka 'menyerahkan' tanaman pala yang dimilikinya pada alam. Kalaupun ada perawatan, paling membersihkan area sekitar tanaman dari gulma dan melakukan regenerasi, mengganti pohon tua yang sudah tidak produktif. Cukup sederhana.