Pohon warisan, nyaris tanpa modal, tak perlu kerja keras merawat, toh sudah menghasilkan. Cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup keluarga, bahkan masih bisa diwariskan lagi pada keturunannya. Mau apa lagi? Serahkan saja semua pada alam dan jika tiba waktunya panen, tinggal petik hasilnya. Itu kondisi dan pola pikir sebagian petani rempah di wilayah Indonesia timur.
Mungkin Anda tak pernah membayangkan hal itu pada petani padi, jagung, atau hortikultura. Mereka harus mati-matian mengolah tanah, memberi pupuk, atau mengendalikan hama penyakit tanaman. Jika lengah sedikit saja, habis sudah.
Petani rempah memang beda. Pala (Myristica fragrans), salah satu jenis tanaman rempah yang menopang kehidupannya hanya 'dititipkan' saja pada alam. Jika Anda berkesempatan jalan-jalan ke wilayah Maluku Utara, coba amati rumah para petani rempah. 'Tajir melintir'? Tidak juga sih. Tapi bukan itu maksud saya. Coba amati, adakah tumpukan pupuk atau peralatan pertanian sebagaimana lazimnya rumah para petani?Â
Hampir tidak ada. Mungkin karena tanahnya subur sehingga tidak perlu dipupuk? Bisa jadi. Tapi benarkah produksi dan perdagangan rempah Indonesia, terutama pala, tanpa masalah?
Ekspor Pala Indonesia, Menyejarah!
Indonesia timur memang identik dengan rempah. Anda pasti ingat itu karena berulang kali disebutkan dalam buku sejarah. Pala telah menjadi urat nadi perekonomian masyarakat sejak dulu. Kedatangan bangsa-bangsa Eropa pada abad XVI di Maluku juga dilatarbelakangi oleh ambisi kekuasaan terhadap daerah penghasil rempah. Tidak heran, karena harga pala pada waktu itu cukup menggiurkan, setara dengan emas! Siapa tak mau. Ini fakta, rempah Indonesia pernah berjaya.
Lalu, apa kabar pala Indonesia hari ini? Baik-baik saja. Indonesia masih menjadi salah satu penghasil pala terbesar dunia selain Guatemala, India, Nepal, dan Laos. Pada tahun 2015, produksi pala di Indonesia mencapai 33.711 ton dengan luas area tanam 168.904 ha (Dirjen Perkebunan, 2016). Maluku dan Papua menjadi sentra pala terbesar, disusul Aceh dan Sulawesi Utara.
Pala juga masih menjadi komoditas ekspor unggulan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, perkembangan volume ekspor pala Indonesia selama periode 1980 -- 2015 cukup fluktuatif, namun cenderung meningkat. Pada tahun 2015, volume ekspor pala kita mencapai 17.027 ton dengan nilai 100,141 juta US$.
                                                           Â
Penguasaan pala Indonesia di pasar dunia juga terbilang cukup baik. Indonesia masih dianggap sebagai produsen dan eksportir biji serta fuli pala terkemuka di dunia dengan penguasaan pasar mencapai 75% (Nila Sukma Dewi, 2016). Aroma dan cita rasa pala Indonesia yang khas serta rendeman minyak yang tinggi menjadi daya tarik tersendiri bagi pasar luar negeri, khususnya Eropa. Jelang akhir tahun lalu, Mesir pun tertarik dengan pala Indonesia sehingga dilakukan ekspor 28 ton buah pala dengan nilai 2,4 miliar. Lalu, apa masalahnya?