peyek-peyek renyah---terhampar di atas tampah bambu. Sudah hampir seharian ini ia duduk di sini, namun tak ada satu pembeli pun yang mampir."Duh, Gusti, kok ya sepi banget ya?" gumam Mbah Karto, matanya menerawang jauh. Perutnya keroncongan minta diisi. Sejak subuh tadi, ia belum sarapan.
Hujan mengguyur deras sejak pagi. Angin bertiup kencang menerpa tubuh Mbah Karto yang bungkuk. Ia berdiri di bawah terpal seadanya, dagangannya---Akhirnya, setelah hampir putus asa, Mbah Karto memutuskan untuk membeli seporsi nasi rawon di warung makan dekat pasar. Harumnya kuah rawon begitu menggoda, apalagi ditambah dengan semangkuk nasi hangat. Dengan sisa uang yang ada, ia pun memesan seporsi.
"Mbah, mau tambah lauk apa lagi?" tanya penjual nasi rawon ramah.
"Nggih, Mas, tambah tempe goreng satu saja," jawab Mbah Karto.
Saat hendak keluar dari warung, kaki Mbah Karto terpeleset. Tubuhnya terhempas ke tanah basah. Sakit menusuk di lututnya. Ia meringis menahan sakit. Beberapa orang yang sedang makan di warung itu menoleh ke arahnya.
"Mbah, kenapa?" tanya seorang ibu muda.
"Nggih, Nduk, kakiku keseleo," jawab Mbah Karto sambil berusaha berdiri.
Dengan bantuan ibu muda itu, Mbah Karto akhirnya bisa berdiri. Ia berjalan tertatih-tatih menuju tempatnya berjualan.
"Duh, gimana ini? Pecekku masih banyak, tapi lutuku sakit banget," gumamnya lagi.
Hujan semakin deras. Angin dingin menusuk tulang. Mbah Karto semakin merasa kedinginan dan kelaparan. Ia meremas-remas bungkus nasi rawon yang masih hangat.
"Mbah, mau saya bantuin angkat barang-barangnya?" tanya seorang anak kecil yang lewat.