Mohon tunggu...
Ahmad Kholiyi
Ahmad Kholiyi Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pembelajar

Namaku Ahmad Kholiyi. Aku dilahirkan di Lebak tanggal 22 Oktober 1995. Aku lahir dan besar dilingkungan keluarga yang penuh paradigma. Ayah adalah seorang kepala keluarga yang demokratis, sehingga tak mengekang anaknya dalam memperdalam jati diri masing-masing sesuai pencarian hidup kami. Ibu adalah seoranh ibu yang visioner dan punya cita-cita besar agar semua anaknya dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Kami sekeluarga dididik mandiri sejak kecil, agar terbiasa menjalani hidup apa adanya. Aku bercita-cita menjadi seorang cendikiawan. Idolaku, selain Rasulullah, ialah seorang cendikiawan humanis, yaitu KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Permainan Tradisional (Klasik Bukan Berarti Ketinggalan Zaman)

7 Desember 2018   23:16 Diperbarui: 7 Desember 2018   23:49 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Tak ada yang tak mungkin jika usaha-usaha tersebut dilakukan secara maksimal. Kelak, anak-anak pasti akan kembali menyukai permainan tradisional."

Mindset yang kadung terbentuk di sebagian besar masyarakat kita dewasa ini (terutama daerah perkotaan) adalah bahwa 'tradisionalisme' adalah salah satu bentuk dari ketinggalan zaman. Padahal pandangan demikian adalah pandangan 'salah kaprah' yang harus diluruskan dan diperbaiki.

Tradisionalitas suatu budaya malah merupakan sesuatu kekayaan yang secara sadar atau tidak sadar menjadi aset sangat berharga daripada identitas sebuah daerah secara khusus, umumnya sebuah bangsa. Tradisionalisme dalam bentuk pelestarian dan perawatan aspek-aspek budaya (yang khas) juga bukan berarti menjadi antitesis daripada modernisme.
Hal yang seharusnya dipahami adalah upaya modernisme hal-hal yang bersifat tradisi agar (sesuatu yang bersifat/berbentuk tradisional itu) selalu bisa bersesuaian di abad kontemporer ini. Action-nya tidak lain adalah agar eksistensi nilai-nilai tradisional (baik dalam wujud bentuk ataupun perilaku-nilai) selalu ada dan terpelihara.

Permainan tradisional adalah salah satu bentuk tradisi dari tradisionalisme yang berwujud (baca: berbentuk sebuah benda), bahkan juga secara filosofis sarat akan nilai - perilaku. Permainan tradisional sebagaimana yang dikemukakan James Danandjaja adalah salah satu bentuk permainan berupa permainan anak-anak yang beredar baik secara lisan maupun secara anggota kolektif yang berbentuk tradisional yang diwariskan secara turun temurun hingga memiliki berbagai variasi dalam satu jenis permainan.

Ciri dari permainan tradisional adalah tidak diketahui siapa penciptanya, karena permainan ini dari awal lahirnya (yang entah kapan -secara pasti- munculnya setiap permainan-permain tradisional tersebut) hingga sekarang (yang secara masif mulai tergerus oleh perkembangan zaman) terpelihara oleh tradisi lisan, yakni, biasanya hanya terucap/disampaikan dari mulut ke mulut yang lainnya. Terkadang juga mengalami perubahan nama meskipun bentuk dan cara bermainnya sama. Contohnya adalah permainan Congklak (Sunda) dari Jawa Barat dengan permainan Dakon (Jawa) dari Jawa Tengah mempunyai peraturan dan cara bermain yang sama, namun memiliki penyebutan yang berbeda.

Banyak sekali bentuk dan macam permainan tradisional di Nusantara. Mengingat juga bahwa negeri kita memiliki ratusan suku yang berbeda dengan tradisi yang berbeda-beda pula. Diantara warisan seni-budaya dari para nenek-moyang bangsa tersebut adalah permainan tradisional. Ada puluhan bahkan mungkin ratusan macam permainan tradisional jika diakomodir secara kolektif. Diantara permainan-permainan tersebut misalnya Congklak atau Dakon (yang di awal sudah disinggung), Gobak Sodor, Petak Umpet, Boi-boian, gundu (kelereng), bola bekel, loncat tali, egrang, bakiak, peletokan, gangsing, balap karung, engkle, dagongan, ular naga, gatrik, layangan dan lain sebagainya.

Sadar atau tidak, ternyata berbagai macam permainan tradisional tersebut sudah mulai jarang terlihat (bahkan mungkin tidak terlihat lagi) dimainkan oleh anak-anak zaman sekarang (untuk memperjelas identifikasi, penulis memberikan kategori bahwa anak-anak yang lahir di era 2000an adalah yang mulai meninggalkan atau mungkin tidak diperkenalkan oleh orang tuanya dengan bermacam permainan tradisional). Efek globalisasi nyatanya mengakibatkan dekadensi budaya dan karakter anak-anak zaman sekarang dalam bermain.
Keterasingan permainan tradisional tersebut makin kentara setelah kehadiran gawai (smart phone) yang mengalihkan segala bentuk aktivitas bermain yang melibatkan fisik anak secara langsung (semua permainan tradisional sebagian besar melibatkan aktivitas seluruh anggota badan secara aktif) kepada -hanya- aktivitas tangan dan mata. Berbagai macan permainan digital, baik offline ataupun online lebih diminati anak-anak ketimbang permainan tradisional. Namun, kita juga tak bisa sepenuhnya menyalahkan karakter permainan yang disukai anak-anak dewasa ini. Bisa jadi, kurangnya sosialisasi atau pengenalan orang dewasa/orang tua (yang dulunya masih mengalami berbagai macan permainan tradisional) secara institusi keluarga ataupun secara kelembagaan oleh pemerintah (dalam hal ini Dinas Pendidikan & Kebudayaan) adalah penyebab semakin tergerusnya permainan tradisional.

Kesan permainan 'jadul' (zaman dulu) yang akhirnya melekat pada permainan tradisional semakin menjadikannya kurang diminati. Ironis sekali, padahal permainan tradisional adalah bentuk daripada kekayaan khazanah kearifan lokal bangsa Indonesia. Dalam perspektif pembaharuan, tak layak juga istilah 'permainan jadul' disematkan pada permainan tradisional. Karena inti daripada hadir atau diadakannya permainan tradisional oleh para nenek-moyang kita dulu bukan dari bentuk atau cara bermainnya, melainkan lebih dari itu, yakni, pesan atau nilai filosofis yang terkandung di dalamnya dibandingkan permainan-permainan zaman sekarang yang hanya bernilai 'sekedar hiburan' tanpa memiliki esensi yang berarti dibaliknya.

Kesadaran semua elemen akhirnya menjadi penting agar permainan tradisional selalu lestari di bumi Indonesia. Upaya pelestarian tersebut tidak hanya 'sekedar' pada merawat dan menjaga permainan tradisional. PR bersama yang mesti terwujud sebagai end point adalah pada bagaimana permainan tradisional ini diminati kembali oleh anak-anak zaman sekarang, dan menjadi permainan yang biasa mereka lakukan dalam keseharian mereka di waktu bermain mereka.

Penulis sendiri meyakini bahwa pendekatan persuasif yang secara intens dilakukan untuk memperkenalkan anak-anak kepada permainan tradisional dan kemudian mereka tertarik memainkannya adalah cara efektif yang bisa dilakukan. Selain itu, kesadaran para orang tua terkait pembatasan (yang layak) kepada anak-anak terkait penggunaan gawai yang sekarang menjadi hal candu dalam kehidupan sehari-hari anak-anak adalah hal lain (sebagai penunjang terwujudnya ketertarikan dan kecintaan anak terhadap permainan tradisional) yang patut diperhatikan secara serius. Karena, mau atau tidak mau diakui, kehadiran gawai adalah salah satu faktor terbesar yang mengakibatkan dekadensi karakter dan kebiasaan bermain anak-anak zaman sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun