30 Desember 2009, sembab muka para pecintanya teramat jelas di penglihatan. Tawa mereka yang terbiasa mendengarkan humor penuh nilai moral dari Gus Dur  (KH. Abdurrahman Wahid) berganti duka dan kesedihan sebab kehilangan sosok yang selalu bisa mengembangkan tawa itu.
Gus Dur wafat, meninggalkan semua orang yang mencintainya. Bendera setengah tiang serempak dikibarkan di seluruh penjuru negeri. Hari itu menjadi hari berkabung nasional. Sang mantan Presiden penyelamat transisi masa reformasi itu telah pergi menjemput ketentraman.
Tidaklah berlebihan jika kata KH. Maman Imanulhaq Faqieh dalam buku memoarnya bersama Gus Dur bahwa 'jutaan' orang melepas 'kepergian' Gus Dur. Seorang Ulama Besar, budayawan, tokoh demokrasi serta inspirator dalam melakukan perubahan dan menegakkan demokrasi, pluralisme, dan HAM (Maman Imanulhaq Faqieh, Fatwa & Canda Gus Dur, 2010: 2), karena yang mencintainya adalah semua manusia, bukan hanya umat Muslim, bahkan hingga umat non-muslim pun tak sedikit yang mencintai bapak humanis dari Indonesia itu.
Tentunya, mereka (yang merasa kehilangan) belum rela melepas kepergian Sang Guru Bangsa. Mereka masih ingin berlama-lama bercengkrama, mendengarkan petuahnya, mendengarkan guyonannya, menyaksikan kamus kehidupan yang tak mereka dapatkan selain darinya.
Tapi, Gus Dur adalah manusia biasa 'kullu nafsin daiqotul maut'. Semua orang akan menemui kematin, Â tak terkecuali Gus Dur, pada masanya juga pasti meninggal. Akhirnya, kepergian sang pejuang kemanusiaan adalah sesuatu yang harus direlakan.
Kata Muhammad Al-Fayyadl (dalam Handbook KPG, hlm. 1) memang mudah meraba denyut kehilangan itu setelah setahun lebih kepergian Gus Dur. Di Ciganjur, tepat di peringatan haulnya, ratusan orang berkumpul dan mengadakan berbagai acara hingga dua hari suntuk, dari diskusi serius, obrolan ringan, hingga panggung seni, untuk mengenan kepergiannya (seakan dia pergi untuk dimeriahkan, tidak untuk diratapi).
Setelah kepergiannya, rasa kehilangan itu nyatanya semakin kuat. Karena yang hilang bukan saja hanya 'seorang biasa' yang meninggal dunia, melainkan seorang 'khoriqul adat' yang tak banyak manusia bisa menjadi sebagaimana Gus Dur.
Seorang yang selama hidupnya dibaktikan untuk memamusiakan mamusia, menebarkan cinta dan kasih sayang dalam mensyi'arkan agama Islam, agama yang diyakininya bahwa kunci dari Islam itu sendiri adalah sebagai 'keselamatan' atau 'kedamaian'. Ia sepenuhnya meyakini bahwa Islam adalah rahmat, tidak hanya pada umat Islam saja, namun juga bagi segenap alam, Islam yang rahmatan lil alamin.
Rahmat disini termasuk pula segala macam perbedaan 'al-ikhtilafu rahmat al-ummah'. Perbedaan yang menjadi rahmat adalah  perbedaan yang -tidak boleh- dipertentangkan, yang harus dileburkan dengan sikap toleransi antar umat manusia. Menurut Gus Dur toleransi kita diminta oleh  kitab suci yang kita yakini, bahwa Islam adalah pelindung bagi semua orang, termasuk kaum non-muslim (Gus Dur: Tuhan Tidak Perlu dibela, 2011: 77).
Perbedaan dan keragaman merupakan sebuah  keniscayaan yang tidak akan pernah bisa dihindari. Perbedaan dan keragaman itu nyatanya akan menjadi sesuatu yang indah dan istimewa, yang mana antar kelompok yang satu dengan yang lain bisa saling mengisi dan menyempurnakan.
Gus Dur yang secara 'dzhohir' memang telah pergi, tapi tetap saja -secara tidak langsung- masih membersamai kita. Bapak Humanis yang sebagian besar hidupnya dicurahkan untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia itu telah meninggalkan dan menitipkan gagasan-gagasan perjuangannya untuk selalu bisa kita teruskan.
Menurut Gus Dur manusia (baca: semuanya) adalah makhluk Tuhan yang patut dilindungi dan dijaga hak-haknya. Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat di muka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kedlaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan dan pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya harus bisa diwujudkan.
Gus Dur menambahkan bahwa sebenarnya universalisme yang tercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi pula oleh  kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri. (Modul KPG, hlm. 122)
Argumen selalu Gus Dur 'setir' dalam konteks pembelaannya terhadap HAM ini adalah sebuagaimana yang ia ambil dari literatur hukum agama al-kutub al-fiqhiyyah lama terkait lima buah jaminan dasar yang diberikan agama Islam kepada warga masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok.
Kelima jaminan dasar itu adalah jaminan dasar akan (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani diluar ketentuan hukum (hifdzu an-nafs), (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzu al-din), (3) keselamiatan keluarga dan keturunan (hifdzu al-nasl), (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal), dan (5) keselamatan berfikir atau  kebebasan berfikir kaitannya dengan profesionalitas(hifdzu al-aql).
Gus Dur juga meyakini bahwa pemahaman tentang konsep universalisme dan kosmopolitanisme ajaran Islam membukan paradigma pemikiran kaum Muslim yang sempit dan sangat ekslusif, agar nantinya bisa mengambil bagian dalam kebangunan peradaban manusia.
Loncatan-loncatan jauh daripada gagasan-gagasan Gus Dur tentang Islam dan kemanusiaan tersebutlah yang kini masih ada. Pemikirannya yang jauh ke depan dan matang tersebut mestilah kita pelihara dan lanjutkan. Kita tahu, bahwa dewasa ini  (selelah Gus Dur tiada) permasalahan-permasalahan kemanusiaan yang menjadi bahan pokok pemikiran Gus Dur nyatanya makin kentara kita rasakan.
Lima jaminan dasar manusia (dalam Islam) yang menjadi rujukan terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia (sebagaimana yang sudah diterangkan) ternyata makin sulit diterapkan. Yang ada malahan pelanggaran-pelanggaran akan kelima jaminam tersebut. Indonesia sendiri, sebagai negara yang mayoritas rakyatnya memelum agama Islam, masih jauh sekali dari kepantasan telah menerapkan lima jaminan dasar tersebut.
Buktinya adalah masih larisnya isu SARA (Suku, Ras, & Agama) sebagai bahan gorengan pemecah belah persatuan bangsa yang memiliki keberagaman yang sangat tinggi ini. Diskriminasi terhadap hak-hak kaum minoritas (dalam kehidupan politik dan sosial) masih saja sering terjadi.
Dalam tahun politik sekarang, para 'demagog politik' malah sepertinya sengaja menggunakan isu SARA sebagai komoditas utama demi mencapai hasrat kekuasaan. Imbas daripada politisasi isu SARA ini lah yang menyebabkan pelanggaran HAM itu makin masif dirasakan. Politik identitas yang kemudian muncul sebab politisasi isu SARA mengakibatkan hak-hak demokrasi sebagian masyarakat terhambat.
Klaim kebenaran soal pandangan politik yang tengah marak sekarang menyebabkan penyempitan makna demokrasi yang tengah dirawat di Indonesia. Demokrasi akhirnya dibatasi oleh klaim bahwa 'yang benar' (versi yang mengklaim) yang harus diikuti, yang tak sesuai (apalagi salah) dan berbeda haluan dengan pandangan 'mereka' maka tidak boleh diikuti bahkan dikatakan menyimpang. Kebebasan memilih dan berpendapat akhirnya dibatasi oleh hal-hal demikian. Padahal sungguh sempit sekali pandangan politik identitas semacam itu.
Naifnya, isu politik (yang sarat dengan unsur-usur politik identitas dan politisasi SARA) semacam itu sekarang malah lebih senang dibahas dalam berbagai macam obrolan, diskusi, dan debat. Kita malah mengesampingkan isu yang menurut penulis lebih utama. Seperti apa kata Gus Dur "yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan". Kita lalai dalam pembahan soal manusia, soal hak-haknya, soal penyelesaian ketimpangan ekonomi, soal pemecahan masalah sosial masyarakat, soal cara memanusiakan manusia sebagaimana yang selalu diperjuangkan Gus Dur.
Lagi-lagi, kehilangan Gus Dur mulai 'sangat terasa' kembali. Dalam kondisi bangsa yang dilanda penyakit politik identitas (yang pada masa hidupnya sangat Gus Dur tentang), penyakit sekelompok merasa utama dan lebih unggul ketimbang manusia yang lainnya, padahal hakikatnya hak-hak manusia secara keseluruhan adalah memperoleh kesetaraan. Gus Dur biasanya menjawab segala macam kepelikan yang terjadi sekarang dengan cara sederhana namun selalu tepat sasaran, dengan jargon "gitu aja kok repot!" andalannya. Tapi, sekarang Gus Dur sudah tidak ada, kepelikan yang ada tak bisa lagi dijawab dengan cara sederhana ala Gus Dur, malah kadang dijawab dengan jawaban yang menambah persoalan itu makin pelik. Untunglah gagasan pemikiran-pemikirannya ia tuangkan dalam sebuah tulisan yang kemudian dikolekif menjadi sebuah buku dan atau beberapa buku yang merupakan kumpulan tulisan pemikiran Gus Dur. Semoga pula gagasan-gagasan Gus Dur selalu hidup dan dihidupkan melalui medium demikian.
Biarlah raga Gus Dur yang 'menghilang' di pandangan mata kita. Tapi, soal gagasan dan perjuangannya akan selalu hidup dan ada bersama kita. Maka, sebenarnya Gus Dur tak pernah meninggalkan kita. Ia selalu ada bersama kita, bersama orang-orang yang meneruskan gagasan dan nilai-nilai perjuangannya. []
Lebak, 7 Desember 2018
Ahmad Kholiyi
(Penulis adalah aktivis Penggerak GUSDURian Lebak, juga merupakan Relawan Pegiat Lembaga Studi Islama dan Sosial (LSiS) Lebak)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H