Mohon tunggu...
Kholis Ardiansyah
Kholis Ardiansyah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Study at Psychology | UIN Maliki Malang | Never Stop to #Process |

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Freud, Oedipus, & Metodologi

3 Maret 2015   17:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:14 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Suatu analogi sederhana dapat kita fahami, saat kita belajar suatu keilmuan atau pemahaman seakan kita terbatas pada ruang lingkup itu saja. Maksudnya kita hanya belajar atau memahami pada konteks dimensi terbatas. Misalnya ketika belajar teori Freud, mereka akan menerima begitu saja pada apa yang Freud informasikan. Dari fenomena tersebut, adil rasanya kita harus mengakui pemikiran kita hanya berkutat pada sesuatu yang mainstream saja. Jarang dari kita yang mampu berfikir terbuka atau keluar dari pemikiran tersebut. Ditakutkan, karena ke-subyektifan Freud atau tokoh lain dalam berfikir kita tidak tahu cara membuka alam fikiran ke-subyektifan pemikiran sendiri. Terutama pada konsep Oedipus Complex yang menjadi pembahasan besar pada perspektif (psikologi) perkembangan. Oedipus complex merupakan mitologi Yunani. Mitologi sendiri berasal dari bahasa Yunani juga yang berasal dari kata “mythos” artinya saga atau dongeng dan “logos” yang berarti akal atau pengetahuan.

Jadi mitologi adalah pengetahuan tentang saga para dewa dan para pahlawan bangsa tersebut. Alasan mengapa definisi meminjam kata dewa dan para pahlawan, contoh aspek historis pada bangsa Kreta yang memuja seorang dewi, atau mungkin beberapa dewi. Yang mereka difenisikan sebagi ibu. Atau nama – nama dewa seperti Zeus, Poseidon, Athena, dan sebaginya. Dan pengistilahan seperti inilah yang menunujukkan bahwa bahasa merupakan proyeksi kebudayaan suatu bangsa. Sementara dongeng merupakan gambaran alam fikiran, yang dimana Mitologi ini-lah yang berfungsi menjembatani antara bangsa kita dengan bangsa Yunani.

Sementara “Oedipus Complex” meruapakn teori yang digunakan Freud untuk menjelaskan perkembangan manusia terutama pada masa peralihan anak – anak menuju masa remaja. Teori Oedipus Complex dikisahkan ketika ramalan Orakel Delphi untuk memperingatkan Laios, Raja Thebai untuk tidak boleh mempunyai anak. Karena menurutnya salah satu putranya akan membunuhnya. Maka ketika Lokaste melahirkan seorang anak, oleh Laios anak itu pun dibuang dan ditusuk kedua kakinya. Singkat kata anaka tersebut dutemukan dan diasuh oleh raja Korinthos, Polybos yang mengutnya dan memberikannya nama “Oedipus” (yang bengkak kedua kakinya). Ketika oedipus dewasa ia bertanya pada Orakel Delphi asal – usulnya. Orakel Delphi memperingatkannya agar tidak kembali ke negara asalnya karena di akan mebunuh ayahnya dan menikahi ibunya sendiri. Singkat kata, Oedipus berhasil melakukan sesuai apa yang diperingatkan Orakel Delphi.

Oleh Freud mitologi tersebut berhasil diterjemahkan olehnya dengan baik melalui pendekatan psikoanalisisnya. Oedipus Complex didefinisikan sebagai anak laki – laki lebih lekat pada ibunya, dan anak [erempuan lebih lekat pada ayahnya. Agaknya teori ini sebagian benar karena saya sendiri pada masa itu mengalami hal ini. Nah, kembali ke teori tersebut karena objek lekat pada ibu, anak laki – laki menghindari dikebiri oleh ayahnya. Tetapi dalam konsep ini saya merasa agak kurang benar.

Sebagian dari kita hanya memahamai bahwa bahwa mitologi hanya bersifat sebagai mitos, dongeng, dan sebagainya. Dalam konteksnya konsep tersebut meruapakan mitos yang kadar ilmiah-nya belum teruji menurut sebagian orang. Untuk memahaminya pertama. Jika kita percaya mitologi tidak ilmiah maka fahami dulu mengap orang Yunani, yang merupakan induk ilmu mempercayai jika mitologi dapat membentuk keyakinan mereka. Tetapi menurut saya, melalui mitos mampu memperkuat agar suatu fakta mampu membentuk suatu teori utuh. Seperti yang dikonsep dengan baik oleh Freud melalui Oedipus-Complex. Metode yang berasal metode kualitatif, umum-khusus memberikan khazanah baru dalam sumbangsih ilmu psikologi. Melalui akar – akarnya: Fenomenologi; ilmu tentang perkembangan kesadaran dan pengenalan diri manusia sbg ilmu yag mendahului ilmu filsafat atau bagian filsafat, Etnografi; deskripsi tentang kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup di suatu daerah, dan studi kasus. Saya yakin psikologi akan menjadi ilmu yang berdiri sendiri, bebas nilai sehingga ia mampu menjadi ilmu yang lentur dan mampu menyesuaiakan zaman. Sehingga mampu melihat dunia yang kompleks, terutama sumbangsihnya dalam dunia sosial dan kontribusinya sebagai ilmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun