Penghujung akhir tahun 2022 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja padahal yang kita ketahui bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah diuji secara formil dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat. Kebijakan pemerintah ini dianggap menyimpang dari sistem hukum ketatanegaraan yang kita kenal bahwa menerbitkan Perppu untuk mengganti UU yang bermasalah secara formal adalah kekeliruan fatal. Putusan MK mengatakan Pemerintah dan DPR wajib memperbaiki UU tersebut dengan melibatkan pihak yang berdampak langsung terhadap UU itu dengan tujuan agar law maker (DPR & Pemerintah) memperhatikan aspirasi masyarakat. Permasalahan ketatanegaraan ini ada pada tidak terpenuhinya aspirasi masyarakat itu sendiri. UU yang dibuat dengan metode omnibus law tersebut memilki ruang lingkup yang luas dan karena sangking luasnya bahkan pemerintah sendiri pasti belum membaca atau memahami isi dari UU Cipta Kerja lagi pula sebelumnya Indonesia belum mengenal proses pembentukan UU melalui mekanisme omnibus law.
Prof Yusril dalam kuliah umumnya mengatakan bukti nyata pemerintah tidak membaca dan memahami isi dari UU Cipta Kerja yang mereka buat sendiri itu ada pada ketika Menteri Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri dengan merujuk UU yang telah dicabut oleh UU Cipta Kerja. Ini semakin menegaskan bahwa kurangnya mensosialisasikan UU Cipta Kerja kepada setiap pihak yang bersentuhan langsung dengan UU Cipta Kerja ini yang merubah 79 UU sekaligus. Jangankan penyebarluasan external ke masyarakat, penyebarluasan secara internal didalam tubuh pemerintahan sendiri saja belum terlaksana secara baik.
MK Dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 membuat rumusan unsur dalam membentuk Perppu diantaranya harus memenuhi 3 unsur yaitu pertama adanya keadaan mendesak, kedua karena kekosongan hukum dan ketiga tidak dapat membuat UU dengan prosedur yang formal karena memakan waktu yang lama. Pasal 22 UUD NRI 1945 mengatakan kewenangan membuat Perppu tersebut murni hak subjektifitas dari seorang Presiden namun yang perlu diperhatikan harus memenuhi ke-3 unsur diatas tadi terutama apa yang menyebabkan negara dalam kegentingan yang memaksa. Mengeluarkan Perppu dengan alasan untuk memperbaiki Putusan MK bukan langkah yang tepat, MK memerintahkan para law maker untuk melibatkan masyarakat bukan malah justru meniadakan peran masyarakat secara terang-terangan dengan Perppu, logika hukumnya sangat sederhana kecuali Perppu ini terbit karena kekosongan hukum.
Penulis tidak fokus pada poin apa alasan Perppu ini terbit tetapi penulis fokus ada pada Pemerintah yang secara terang-terangan meniadakan dan tidak memperdulikan peran masyarakat dalam proses pembentukan UU. Kejadian ini semakin menekankan bahwa pembentukan suatu UU dibentuk karena kemauan sepihak saja (negara) dan cenderung bersifat dari atas kebawah (top-down). Semestinya suatu kebijakan UU itu bersifat dari bawah keatas (down-top) dengan memperhatikan kebutuhan hukum bagi masyarakat yang dimulai dari tahapan membuat NA (naskah akademik) kemudian dari NA itu bisa diketahui apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat. Setelah NA dibuat dan diserahkan kepada para legislator barulah urusan NA tersebut bisa diintervensi oleh politik dan berubah menjadi naskah politik bukan lagi naskah akademik. Jika suatu hukum ataupun undang-undang sifatnya top-down, maka unsur politiknya lebih menonjol dari pada unsur kepentingan masyarakat. Terbitnya Perppu ini menciptakan preseden yang kurang etis karena kedepan jika terjadi hal yang sama maka jalan keluar terkahir untuk dapat melegalkan suatu UU yang dinyatakan inkonstitusional dengan menerbitkan Perppu.
Sistem hukum bersifat konsisten untuk mengatasi sebuah konflik. Oleh karena itu sistem hukum tidak akan membiarkan konflik itu berlangsung berlarut-larut, tetapi segera untuk bisa diatasi. Sebagai contoh: kalau ada konflik antara undang-undang atau Perppu (karena setingkat dengan UU) dengan putusan pengadilan maka diselesaikan dengan asas res judicata pro veretate accipitur yang berarti putusan hakim harus dianggap benar. Berkaca pada penerbitan Perppu Cipta Kerja tentu bertentangan dengan dengan asas yang disebutkan diatas bahwa Perppu ini mengesampingkan atau tidak mengindahkan perintah atas putusan Mahkamah Konstitusi. Langkah-langkah yang dilakukan ini dengan menerbitkan Perppu seharusnya tidak boleh dijadikan sebagai preseden, selain melanggar asas juga secara konstitusional itu tidak dibenarkan.
Bahwa sekarang hukum di negara ini banyak dibuat tanpa dasar moral yang dapat dipertanggungjawabkan. Pokoknya apa yang diinginkan dan ditetapkan oleh yang berwenang karena dilegitimasi oleh kekuasaan maka itulah yang harus diberlakukan. Dalam praktiknya lembaga yang berwenang itu membuat hukum dengan para elite yang mengendalikan politik secara oligarkis. Mereka membuat hukum-hukum yang tampak seperti membenarkan apa yang mereka lakukan, padahal perbuatan yang seharunya tidak diperkenankan dan dilarang menjadi boleh dilakukan karena telah diberi baju hukum yang dapat melindunginya. Paham natural law yang menekankan bahwa hukum harus berdasarkan moral, membuat perilaku yang baik dan rasa keadilan menjadi terbengkalai dari proses pembuatan hukum dan digantikan oleh aliran positivism yang mengatakan bahwa hukum adalah apa pun yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang membuatnya.
Kemudian secara limitasi kekuasan baik yang kita kenal di Indonesia adalah sebagai negara dengan sistem hukum Presidensil yang menggunakan teori pemisahan kekuasaan (separation of powers) ataupun pembagian kekuasaan (distribution of powers) untuk membagi atau memisahkan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif yang bertujuan untuk menghindari kesewenang-wenangan dan tirani karena itupula kekuasaan harus dibatasi, diawasi dan diimbangi (check and balances). Namun yang terjadi belakangan ini tampak jelas pengkawinan beberapa diantara ketiga lembaga trias politica tersebut, perkawinan lembaga terjadi atas kejadian hukum yang secara de facto badan legislatif mampu menundukan dan mencampakkan seorang anggota Hakim Mahkamah Konstitusi (yudikatif) kemudian tindakan legislatif tersebut disambut dengan senang hati oleh lembaga eksekutif sehingga runtuhlah kewibawaan lembaga yudikatif tersebut. Lagi dan lagi kali ini eksekutif menerbitkan Perppu untuk mensiasati UU yang diputuskan inkonstitusional oleh lembaga yudikatif karena kita paham betul Perppu untuk dapat berubah wujud menjadi UU membutuhkan political review dari DPR tetapi tampaknya political review yang akan dilakukan DPR nanti hanya formalitas belaka apalagi saat ini pemerintah menguasai partai koalisi dengan persentase sekitar 80%. Oleh karena dua kejadian ketatanegaraan tersebut penulis menyimpulkan tidak ada lagi yang namanya trias politica tetapi berubah menjadi dual politica eksekutif dan legislatif bersatu dan yudikatif tersisihkan sehingga menjadi 2 lawan 1.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H