Domain Arena Pancasila
Domain Pancasila disamping harus berkelindan dengan narasi-narasi positif juga diperlukan arena konsolidasi ideologi. Infrastruktur demikian diperlukan guna mewujudkan cita-cita negara mencapai “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” bisa terpenuhi.
Di Indonesia sendiri, domain Pancasila terkait erat dengan enam aspek diantaranya: ideologi (spiritualitas, realitas sosial, historis), masyarakat politik, masyarakat ekonomi, masyarakat sipil, supremasi hukum (rule of law), aparatur negara (M. Fadjroel Rachman, “Democracy Without The Demokrat: On Freedom, Democracy and the Welfare State”, FES, 2007).
Kesemuanya bisa menjadi bom waktu apabila tidak bisa dikondisikan dengan cara yang baik. Namun, bisa dijadikan arena konsolidasi paling mujarab antar ideologi. Dalam hal ini, Pancasila mampu memangkas garis demarkasi terhadap ideologi lain pada tataran aktualisasi.
Garis demarkasi yang sering dijadikan narasi biasanya seputar kegagalan pemerintah menegakkan keadilan, kesewenang-wenangan pemerintah dalam mengambil keputusan, rendahnya ekonomi untuk sejumlah golongan masyarakat hingga bobroknya penegakan hukum yang terjadi ditengah-tengah masyarakat.
Untuk itu, tidak hanya membutuhkan Pancasilais dengan produsen narasi yang mumpuni untuk mengikis garis demarkasi tersebut. Terlebih lagi, perlu semacam pengakuan masyarakat terkait sumbangsih Pancasila dalam proses pembentukan dan pewujudan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam tataran kenegaraan.
Iklim demokrasi di Indonesia pasca-reformasi memang terbuka lebar. Pubertas demokrasi demikian kuat sehingga tanpa kontrol dan terkesan kebablasan. Ruang demokrasi dan HAM dijadikan legitimasi terhadap kritik yang tidak konstruktif. Meskipun begitu, keikutsertaan masyarakat dalam partisipasi publik dalam kebijakan pemerintah perlu terus dioptimalkan.
Ada ungkapan Saint Hilaire (1772-1844) yang menarik untuk mengingatkan kita. Ia mengatakan “untuk mewujudkan suatu sistem etika yang tidak dilandasi oleh iman (kepercayaan), adalah sesuatu yang sulit diwujudkan”. Dalam hal ini, Hilaire beranggapan bahwa dalam etika haruslah dibarengi dengan landasan keyakinan, tak terkecuali dalam etika bernegara.
Senada dengan Hilaire, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari juga mampu menyandingkan relasi antara agama dan negara. Keduanya saling melengkapi, dalam pengertian tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Negara dan agama ibarat dua sisi mata uang yang saling berkelindan, saling memiliki dan saling menguatkan.
Lahirnya Pancasila sejatinya melalui proses panjang dari aspek kajian dan perenungan para pendiri bangsa. Pancasila laiknya tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang usang. Untuk itu, mari terus selami kekayaan langgam Pancasila sebagai hadiah Tuhan untuk bangsa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H