Temuan Saiful Mujani Reseach and Consulting (SMRC) selama kurun waktu 29 Mei-4 Juni 2017 ada sekitar 9,2% masyarakat merasa perlu mengganti NKRI dengan negara Islam. Menariknya, jajak pendapat dalam pekan Pancasila tersebut menunjukkan 14,5% ideologi bangsa mengalami penyusutan dan negara berada dalam ancaman besar.
Pengebirian Pancasila
Ancaman terhadap eksistensi Pancasila tidak bisa dianggap sebelah mata. Data survei terakhir yang menunjukkan benih-benih pengebiran terhadap Pancasila bisa menjadi semacam bola liar yang tidak bisa dibendung alurnya. Pemerintah perlu mengambil peran strategis guna memotong tumbuh kembangnya bola liar tersebut.
Lebih lanjut, negara bisa chaos berkepanjangan kalau tidak mampu menjaga Pancasila. Sejauh ini, Pancasila terbukti bisa menempatkan posisi yang ideal lantaran mampu menempatkan agama yang satu dan yang lain seimbang. Dalam pengertian, semua agama setara dan diakui keberadaannya.
Egoisme yang ditampilkan ISIS misalnya memberikan sinyalemen negatif bahwa negara Islam yang digaungkan ISIS sejatinya jauh dari nilai kemanusiaan yang dicita-citakan Islam sebagai baldatun tayyibatun wa robbun ghofur.
Bagi mereka yang menolak, Pancasila diposisikan semacam negasi agama Islam. Tidak hanya itu, bahkan pada saat yang bersamaan Islam dipandang menyentuh segala aspek tanpa ada pemilahan dipelbagai sendi kenegaraan. Representasinya mengarah pada penggunaan agama dalam segala bidang sehingga bisa mengkerdilkan pemeluk agama lain.
Satu hal yang tidak kalah penting juga berkaitan dengan proses dialektika Pancasila dengan ideologi lain. Dimana Pancasila acapkali menjadi objek yang melulu dikritisi dengan legitimisi agama sekalipun. Pancasila yang menempatkan aspek spiritual sebagai nilai fundamental kenegaraan sejatinya sudah menempatkan politik yang berketuhanan. Dengan begitu, konsekuensinya sistem pemerintahan yang dijalankan mengedepankan kemanusiaan yang adil tanpa menindas perorangan maupun golongan.
Dialektika Ideologis
Adagium Laa siyasata fiddin, wa laa dina fissiyasah “Tidak ada politik dalam agama dan tidak ada agama dalam politik” seakan-akan menguap lantaran sudut pandang stagnan keagamaan. Pancasila sendiri sejatinya tidak hadir dalam ruang kosong. Pendiri bangsa mengkloning Piagam Madinah menjadi Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Substansi luhur keduanya nampak manakala menjunjung tinggi etika, moralitas, ikatan kepercayaan dan rasa kasih sayang. Piagam Madinah dan Pancasila membuat politik pemerintahan tidak sumpek dan kaku, sehingga dimungkinkan adanya pelindungan hidupnya multi-etnis dan perbedaan agama yang ada.
Pemahaman kaku atau tekstualisasi agama terlihat ketika pihak tertentu menolak dihilangkannya tujuh kata dalam sila pertama Pancasila “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Elan dasar yang pertama jelas mengesampingkan agama lain yang ikut berperan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Pada tataran epistemologis inilah yang kemudian berkembang hingga sekarang dan menimbulkan sudut pandang berbeda-beda. Polarisasi dalam arena ideologis seperti yang terjadi demikian, membutuhkan sejumlah aspek diantaranya narasi-narasi ideologis yang berpijak pada tingkat spiritualitas, realitas sosial hingga historis yang bisa dipertanggungjawabkan.