Ketika Liga Indonesia (kini Liga 1) kembali bergulir, maka para pendukung tiap klub kembali memupuk mimpi. Mimpi untuk menjadi juara Liga 1. Tak terkecuali seperti saya yang dari dulu mendukung PSIS Semarang. Tapi, tentu saja, dukungan pada PSIS tak sefanatik saat saya mendukung Timnas Indonesia. Tapi, tetap saja saya adalah pendukung setia PSIS Semarang.
Berbicara PSIS di Liga Indonesia, maka tak bisa melepaskan memori di tahun 1999. Saat itu, PSIS bisa menjadi juara. Padahal, klub asal Semarang itu tak pernah dijagokan menjadi juara. Bahkan, kala itu sebelum liga bergulir, PSIS terancam tak bisa ikut karena masalah finansial. Maklum saja di tahun seperti itu, kondisi ekonomi, politik, sangat labil. Bahkan, di tahun 1998, karena kondisi politik dan keamanan, Liga Indonesia akhirnya dihentikan.
Namun, seluruh elemen PSIS dengan semangat pantang menyerah, akhirnya bisa memiliki dana, walaupun pas-pasan. Edy Paryono didapuk sebagai pelatih. Ada pemain-pemain baru dan masih muda. Ada Tugiyo yang sebelumnya rekat dengan PSB Bogor dan masih berusia 22 tahun. Ada juga Nova Arianto yang berusia 21 tahun. Kala itu, posisi Nova adalah penyerang. Namun, dia jarang dimainkan di skuat utama PSIS karena kalah bersaing dengan Tugiyo, Ali Shaha, dan Hadi Surento.
Belakangan Nova Arianto malah moncer menjadi pemain belakang dan saat ini dia adalah asisten pelatih Timnas Indonesia. Oiya, Nova adalah anak dari Sartono Anwar yang mengantarkan PSIS juara perserikatan pada 1987.
Kembali ke PSIS di tahun 1999, kala itu para eks pemain Arseto juga memperkuat klub kebanggaan Semarang itu. Ada bek kanan Agung Setiabudi dan kiper I Komang Putra. Kapten diberikan pada Ali Sunan yang memiliki stamina luar biasa. Ali Sunan dikenal salah satunya karena sering meminum darah ular cobra.
Hadi Surento juga jadi andalan, sekalipun dia tak selalu jadi pilihan utama. Hadi adalah jebolan PSIR Rembang yang kemudian moncer bersama Mitra Surabaya dan  lalu berlabuh ke PSIS. Ada juga pemain berpengalaman Bonggo Pribadi di lini belakang. Eks pemain BPD Jateng (tim yang bubar) juga ada, seperti Nugroho Adianto dan Imron Amirullah. Tiga pemain asing PSIS adalah Ali Shaha, Simon Atangana, dan Ebanda Timothy.
PSIS saat itu fasih menggunakan pola 3-5-2. Kiper biasa ditempati I Komang Putra. Tiga pemain belakang yang sering jadi starter adalah Simon Atangana, Wasis Purwoko, dan Nugroho Adianto. Namun, di beberapa laga akhir liga, posisi Nugroho digantikan Bonggo Pribadi. Â Dua pemain sayap PSIS adalah Agung Setyabudi dan M Sholeh. Tiga pemain tengah adalah Deftendi, Ali Sunan, dan Ebanda. Namun, belakangan posisi Deftendi digeser Imron Amirullah. Di depan lebih sering Tugiyo dengan Ali Shaha. Namun, kadang Hadi Surento menjadi pemain utama di depan.
Sekalipun tak diunggulkan dan dengan dana pas-pasan, tapi PSIS kala itu mampu membuktikan sebagai tim yang ulet. Mereka pun bisa mengalahkan tim bertabur bintang seperti Persija Jakarta di semifinal. Gol tunggal PSIS melawan Persija dibuat Ebanda Timothi melalui tandukan setelah menerima umpan tendangan bebas Agung Setiabudi. Di final, PSIS bertemu Persebaya.
Laga sejatinya dilakukan di Jakarta. Namun, tewasnya beberapa supporter dan tensi laga yang bakalan tinggi membuat pertandingan dilangsungkan di Stadion Klabat Manado pada 9 April 1999. PSIS mampu menang 1-0 melalui gol tunggal Tugiyo di menit 89. Padahal, saat itu Persebaya adalah juara bertahan dan lebih diunggulkan.
PSIS di tahun 1999 memberi pelajaran berharga soal keuletan dan daya juang yang tinggi di tengah minim dana. Maka, di masa sekarang ini, semangat pantang menyerah bisa kembali dimunculkan. Apalagi, saya kira pendanaan PSIS jauh lebih baik daripada tahun 1999.
Nama-nama Hari Nur, Bruno Silva, Septian David Maulana, Fandi Eko Utomo Syafruddin tahar, dan Wallace Costa bisa jadi andalan bagi PSIS di musim ini. Racikan pelatih asal Montenegro Dragan Djukanovic diharapkan bisa membuat PSIS memiliki sengatan. Dragan akan dibantu Zarko Curcic dan Imran Nahumarury yang tak lain adalah eks pemain Timnas Indonesia.