Skema permainan sepak bola berkembang sedemikian rupa. Pada dekade 90-an sampai pertengahan 2000-an, skema 4-4-2 jadi primadona. Skema permainan itu memungkinkan adanya dua striker dengan karakteristik yang berbeda.
Satu striker adalah pencetak gol dan satu striker adalah penggedor pertahanan lawan. Dengan skema ini, maka tak aneh jika ada striker langganan sebuah tim, tapi dia tak mahir mencetak gol. Tengok saja Emile Heskey yang bermain di Timnas Inggris. Pemain ini nyaris tak tergusur dalam waktu yang lama sekalipun dia jarang mencetak gol.
Tugas Heskey adalah memporak-porandakan pertahanan lawan dan membuat pertahanan lawan pecah konsentrasi. Kemudian, penyerang murni lah yang akan memanfaatkannya. Saat Argentina main di Piala Dunia 1998, ada juga nama Claudio Lopez. Pemain ini juga tak terlalu banyak mencetak gol, tapi kebutuhan skema 4-4-2 membuatnya sering dimainkan. Dia mendampingi Gabriel Batistuta.
Beberapa waktu belakangan ini, banyak tim baik itu klub atau timnas, yang memakai striker tunggal di depan dan ditopang dua pemain yang lebih aktif menyisir di sayap. Barcelona menggunakan skema 4-3-3 tersebut. Luis Suarez dijadikan target man, sementara Messi dan Neymar membantu di sisi sayap. Ada kalanya juga Neymar dan Messi ikut membobol gawang lawan jika Suarez buntu.
Madrid juga melakukan hal serupa. Karim Benzema diposisikan sebagai penyerang tengah, dengan Ronaldo dan Bale menyisir di sayap. Tapi, adakalanya juga Ronaldo dan Bale mampu mencetak gol jika Benzema buntu.
Saat Jerman juara Piala Dunia 2014, mereka juga memakai striker tunggal kala final, yakni Miroslav Klose. Pemain ini ditopang tiga pemain dengan kemampuan menyerang yang bagus, yakni Thomas Muller, Mesut Ozil, dan Toni Kroos. Argentina, lawan Jerman di final, juga memakai satu stiker, Gonzalo Higuain. Adapun Messi diposisikan agak di belakang Higuain.
Saat final Euro 2016, Prancis juga memakai satu penyerang yang jadi tukang gedor, yakni Olivier Giroud. Sementara, Antoine Griezmann lebih ke belakang untuk menopang Giroud. Portugal, lawan Prancis, di akhir laga juga memakai satu striker, yakni Eder, pemain yang kemudian jadi pencetak gol tunggal kemenangan Portugal. Â
Namun, sebelum semua skema di atas jadi favorit, dulu di dekade 80-an, ada skema permainan 3-5-2. Skema ini menguatkan lini tengah karena menumpuk lima pemain. Dengan dua di antaranya harus aktif naik turun di posisi sayap.
Di posisi belakang, ada pemain yang bertugas sebagai libero, di mana dia menjadi pemain terakhir sebelum kiper yang jadi andalan menjaga pertahanan. Timnas Indonesia di dekade 90-an, sering menggunakan skema seperti ini. Sebab, skema ini mengamankan lini pertahanan agar tak rapuh. Sebab, ada tiga pemain yang jadi andalan di lini belakang.
Lalu, siapa gerangan yang memelopori skema 3-5-2 ini. Dialah Carlos Bilardo, pelatih Argentina. Bilardo menggunakannya pada Piala Dunia 1986, di mana saat itu, Argentina menjadi juaranya.
Bilardo mengawali skema ini pada 1984, atau dua tahun sebelum Piala Dunia 1986. Saat itu, Argentina melakukan tur ke Eropa. Hasilnya memang jeblok. Dari 15 laga, Argentina hanya menang tiga kali. Kemudian, wartawan menilai jika Bilardo salah strategi. Namun, dia bersikukuh bahwa skema itulah yang akan dia pakai untuk Timnas Argentina.
Bilardo berpendapat, dengan skema itu, Diego Maradona bisa leluasa bermain di depan. Skema itu di lapangan bisa berubah menjadi 3-5-1-1 di mana Maradona ada di belakang penyerang murni. Selain itu, skema tersebut membuat lini tengah Argentina jadi kuat karena memiliki lima pemain. Bahkan, jika Maradona memainkan perannya sebagai playmaker, maka Argentina sejatinya memakai enam gelandang untuk bisa menguasai lapangan tengah.
Jelang Piala Dunia 1986, Bilardo tak memakai skema tersebut. Hal itu disinyalir dilakukan agar skema 3-5-2 tak mudah dibaca calon lawan. Belakangan diketahui jika skema tersebut sukses membawa Argentina juara Piala Dunia 1986. Bahkan, saat di final, Jerman Barat pun memakai skema serupa. Alhasil dua skema sama bertarung menghasilkan banyak gol. Kedudukan final adalah 3-2 untuk Argentina.
Pada Piala Dunia 1990, Argentina kembali memainkan skema 3-5-2. Namun, berbeda dengan piala dunia sebelumnya, di Piala Dunia 1990, Argentina cenderung bertahan. Mereka pun tak banyak mencetak gol. Di final, Jerman Barat juga memakai pola 3-5-2. Namun, karena konsentrasi Argentina adalah bertahan, laga pun berjalan tak menarik. Kedudukan 1-0 untuk Jerman Barat. Bahkan, gol laga itu pun terjadi melalui titik penalti yang dieksekusi dengan baik oleh Andreas Brehme. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H