[caption id="attachment_144167" align="alignright" width="337" caption="Sosiawan Leak saat jag-jagan (berekspresi bebas) di panggung Gedung Nusantara 5 DPR MPR, Senayan, Jakarta. Panggung tersebut biasanya dipakai untuk sidang anggota DPR/MPR. (Foto: LULUK NURHAMIDAH)"][/caption] JAKARTA, www.fraksi.PKB.or.id,-- Komentar dan kritikan tajam umumnya disuarakan rakyat di luar gedung Dewan. Kritik buat perilaku maupun sikap Dewan karena dinilai tidak merakyat dan semau wudel-nya sendiri. Kritik tajam, nyinyir, maupun sinis bukan hal aneh ditujukan ke Dewan sejak lahir era reformasi. Namun seharian kemarin (3/11) menjadi beda suara-suara tajam dan kritis itu saat digemakan melalui ruang Majelis Permusyawaratan Rakyat di Gedung Nusantara 5, Senayan, Jakarta. Suara idealis nan kritis para seniman dan budayawan tetap lantang dan keras menyeruak di sela-sela masa reses anggota Dewan. Menjadi saksi bisu Gedung Kura-Kura itu tentang tetap tegar, berani dan jujur apa adanya para seniman dan budayawan menyuarakan kata hati berdasarkan perenungannya dengan mata hati, bukan mata keranjang, apalagi mata jelalatan dan mata duitan. Tidak ada rasa canggung apalagi takut kena cekal atau dijegal maupun dijagal. Di panggung kehormatan MPR, Sosiawan Leak 'jag-jagan' (bebas) berekspresi meneriakkan "Pelacur Babi" yang menjual jasa seks babi sebesar sembilan puluh rupiah untuk sekali "hak hik hok" (menyetubuhi) pada babi betina yang ingin bunting. "Apakah lantas para manusia ingin terus melacur seperti babi padahal demi kepentingan sesama dan solidaritas," tanya Leak. Di panggung kehormatan yang biasa dipakai bersidang para Pimpinan Majelis, tanpa canggung mereka berteriak, menghujati kebiadaban, mengumpati ketidakadilan, dan menyumpahserapahi bobroknya moral pengelola pemerintahan. Atasnama hati nurani dan cinta, misalnya, budayawan nasional asal Madura D Zawawi Imron menyatakan 'bangsa ini harus diselamatkan dengan hati'. Kata Si Clurit Emas, bangsa ini harus dijaga dan ditata dengan cinta dan hati nurani. Sebab hanya dengan cinta dan hati bangsa Indonesia bisa diselamatkan dari segala kebiadaban dan kesengsaraan rakyatnya. Bahkan lebih keras Zawawi menyatakan, sebaiknya dulu calon manusia keluar bersama air kencing ayah jika hidup bikin sengsara sesama. "Kasihan ibu mengandung sembilan bulan jika ternyata lahir jadi manusia biadab tanpa adab," katanya. Di podium kehormatan MPR yang biasanya dipakai pidato kenegaraan dari pimpinan majelis sampai pimpinan negara, pujangga pesantren Acep Zamzam Noor bersuara lantang mendalam dengan larikan kata-kata indah dan kritis dalam puisi berjudul "Inilah Puisiku". Sebagian petikannya berikut ini: Puisiku tidak pernah menolong penganggur atau membantu pengemis menyekolahkan anak-anaknya// Puisiku seperti juga pemerintah sering lupa bertanya kenapa ada bayi dibuang di tong sampah// kenapa ada tubuh manusia dipotong-potong seperti kelinci// kenapa ada preman menjadi bupati// kenapa banyak pedagang menjadi menteri// dan banyak kiai cengengesan di televisi. Puisiku seperti juga birokrasi// agak ruwet dan sulit dipahami// dan seperti halnya Wakil Rakyat jangan-jangan puisiku hanya sibuk dengan dirinya sendiri// Tiba-tiba aku teringat lagu dangdut tentang hak asasi juga pada penyanyinya yang seksi// ketika kubuka jendela lagi kulihat kampung-kampung digusur anak-anak menangis ibu-ibu menjerit sedangkan pemuda tanggung melempari aparat keamanan dengan batu// waktu bergoyang angin berhembus kencang// Tradisi Baru Wakil Rakyat Pagelaran pentas seni budaya berpesan kritik sosial di luar gedung Dewan adalah hal lumrah. Biasa acara itu digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM), Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), atau panggung rakyat di pinggir jalan. Di Magelang (Jawa Tengah), contoh lain, sangat biasa acara serupa oleh seniman liar-beradab Komunitas Lima Gunung digelar setiap minggu di Studio Mendut milik budayawan ndeso Sutanto Mendut, baik dipublikasikan atau disepikan dari hingar-bingar media massa. Boleh juga kita munculkan analisis bahwa pagelaran yang disponsori Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa MPR kemarin (2/11/2011) itu menjadi sebuah pertanda akan adanya pergeseran pola pentas kebudayaan berbau kritik sosial. Jika selama ini kritik sosial menjadi kuasa TIM, GKJ, maupun Studio Mendut, misalnya, maka bukan hal aneh jika kritik sosial juga muncul dari ruang yang selama ini menjadi sasaran kritik. Tampaknya akan lahir babak baru kritik sosial bukan lagi hanya menjadi kuasa seniman-budayawan pinggiran. Gus Dur (Abdurrahman Wahid, almarhum) mungkin hanya tersenyum jika melihat polah-tingkah kader-kadernya itu yang mau bekerja untuk meneruskan gaya dan tradisi kritik sosialnya melalui acara Parade Baca Puisi Pancasila salah satu rangkaian acara Bulan Cinta Pancasila (BCP) itu. Atau Gus Dur malah menangis karena ternyata mereka tidak juga beranjak dari tradisinya? Wallahu a'lam bish-shawab. Cisarua, 4 Nopember 2011. (KHOLILUL ROHMAN AHMAD) KETERANGAN FOTO: Sosiawan Leak saat jag-jagan (berekspresi bebas) di panggung Gedung Nusantara 5 DPR MPR, Senayan, Jakarta. Panggung tersebut biasanya dipakai untuk sidang anggota DPR/MPR. (Foto: LULUK NURHAMIDAH)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H