Sementara Banthe Ditthisampa dalam pidatonya menjelaskan tentang kerukunan dalam perspektif Agama Buddha.
Dia mengemukakan, Festival Toleransi digelar untuk menghayati satu kedamaian di Indonesia, khususnya di Magelang. Karena kita hidup di Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika.
Dalam ajarannya arti cinta kasih yang universal adalah sebagai pelindung dunia. Karena dengan memiliki cinta kasih secara otomatis akan menghilangkan kebencian maupun ketidaksenangan.
Maka dalam Buddha juga sering diucapkan 'Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta' atau semoga semua makhluk berbahagia,'' pungkasnya.
Bonaventura Bosrianto, dari Katolik juga menggambarkan situasi masyarakat di sekitarnya. Gambaran pertama, dalam satu keluarga ada bapak dan ibu, belum punya anak. Bapak yang jelas makannya banyak. Tapi tentang pakaian cuma sedikit.
Sebaliknya ibu makannya sedikit tapi kebutuhnnya banyak. Tapi dalam satu keluarga itu tidak menjadi masalah, karena keduanya saling pengertian dan saling memahami.
Gambaran kedua, kita hidup itu mempunyai panca indra. Panca indra itu kerjanya berbeda-beda. Misalnya mata untuk melihat, telinga untuk mendengarkan. Hidung untuk mencium, lidah untuk merasa, kulit itu rasa.
Lima-limanya berbeda, tetapi dengan otak disuruh bersama. Latarbelakang keluarganya juga beragam agama. Saudara kandungnya ada yang Islam dan Kristen.
Pendeta Gledis Angelita, dari Kristen mengibaratkan sebuah kue lapis. Di mana kue lapis jika dilihat warna-warni. Jarang sekali atau bahkan tidak ada kue lapis hanya satu warna. Itu juga menggambarkan sebuah keragaman dalam kehidupan.
Gledis juga mengajak kepada masyarakat untuk hidup rukun. Momentum Festival Toleransi tersebut penting untuk diperluas, agar masyarakat hidup rukun dan damai.
''Maka jadilah seperti kue lapis tadi. Kalau bersama rukun, guyup, maka rasanya enak,'' ajaknya.