Tahun 2012 lalu saya lulus dari sekolah yang kini menghantarkan saya pada situasi lebih baik, dari sekolah kecil yang terpencil di daerah pinggiran Propinsi Lampung, namun mampu mencetak putra-putra cerdas. kami mampu bersaing dengan sekolah-sekolah negeri yang tidak perlu diragukan lagi kualitasnya dilihat dari taraf nasional bahkan internasional. Dengan menjadi Runner Up dalam LCT sekabupaten, juara I berbagai tari daerah dan yang terakhir ini mewakili propinsi Lampung dalam kejuaraan badminton di Malang September lalu.
Semakin tahun sekolah kami semakin maju, dengan berusaha menjadi Sekolah Berstandar Nasional adalah tujuan yang ingin dicapai dalam 5 tahun kedepan, dan saat liburan kemaren saya sempatkan untuk pulang kampung dan salah satu tujuannya adalah mengunjungi sekolah yang dulu sudah memberikan banyak ilmu pada saya.
Sudah sangat berbeda sekali, meski baru satu tahun lalu saya meninggalkannya namun sudah banyak sekali kemajuannya, selain dengan membangun gedung baru, kegiatan ekstra yang semakin modern juga sudah ada dan lain sebagainya.
Namun dari kemajuan-kemajuan tersebut banyak sekali yang perlu disayangkan, hingga saya ingin membahasnya disini. Bagaimana bisa berusaha menuju kebaikan namun meninggalkan sejarah yang sebenarnya harus dibudayakan. Tari-tarian budaya lampung seperti tari sembah dantari bedana yang sebelumnya menjadi senjata kami dalam kompetisi tari didaerah, yang menghantarkan sekolah kami semakin dikenal masyarakat luas kini mulai tidak diminati.
Hal ini terjadi semenjak sekolah membuat ekstrakulikuler “Band Sekolah”, saya tidak tahu apakah ini pemicu utamanya ataukah bukan. Namun dengan hadirnya ekstra baru ini, para siswa yang tadinya menekuni tari bedana di sekolah beralih pada ekstra band yang sekarang masih digandrungi remaja.
Jika saya dapat berkomentar, sebelum dana yang dipunya untuk membeli alat-alat band yang besarnya lebih dari 15juta itu alangkah lebih baiknya untuk menunjang pendidikan siswa, atau untuk memperbaiki ekstra sanggar tari yang masih kurang baik, seperti penambahan pakaian adat atau lain sebagaimnya, menurut saya itu akan semakin bermanfaat ketimbang dibelikan alat-alat band. Apalagi jika dilihat instansi sekolah saya adalah Madrasah Aliyah yang notabennya bernamakan Islam, sedangkan yang kita kenal selama ini bahwa anak band identik dengan kebarat-baratan.
Namun nasi sudah menjadi bubur, daan tidaak ada yang perlu disalahkan daari kejadian ini, karena bagaimanapun sekolah saya bergerak semakin maju meski meninggalkan beberapa budaya yang sebenarnya perlu dilestarikan.
Saya tidak bisa mengira 10 tahun yang akan datang, mungkin juga akan berpengaruh pada psikologi anak-anak disekolah saya dulu. Semakin majunya pendidikan namun meninggalkan karakter bangsa yang berbudaya. Sekolah yang kini menjadi jajahan kapitalis juga mampu merubah segalanya, karakter anak bangsa yang semakin digerus dengan menyajikan budaya baru yang bertentangan dengan budaya Indonesia selama ini, sehingga budaya yang perlu dilestarikan tidak lagi untuk diminati, dan nantinya ditinggalkan atau bahkan sudah tidak dikenal lagi.
Hal ini mungkin tidak hanya dialami oleh sekolah kami, hampir sekolah-sekolah maju kini lebih memajukan budaya kebaratan dari pada meningkatkan kebudayaan. Ini yang perlu diperhatikan oleh mentri pendidikan dn jajarannya dalam mengembangkan karakter bangsa. maka tidak heran jika nantinya negri tetangga mengklaim kebudayaan Indonesia, karena memang bangsa kita sendiri yang memilihnya.
[caption id="attachment_300794" align="aligncenter" width="1229" caption="band sekolah"][/caption] [caption id="attachment_300796" align="aligncenter" width="640" caption="tim tari sekolah"]
Sumber poto ; dokumen pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H