Mohon tunggu...
M. Kholilur Rohman
M. Kholilur Rohman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep sekaligus Murabbi Ma'had Sunan Ampel Al-Aly (MSAA) UIN Malang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suara-suara yang Mengenaskan

16 Agustus 2024   07:30 Diperbarui: 16 Agustus 2024   07:43 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mendengar sendiri bagaimana suara-suara itu menjerit ketakutan dan kesakitan. Suara-suara yang berasal dari hati yang ingkar terhadap keberadaan Tuhan, raga yang tak mau berbuat baik, dan hati yang selalu bangga terhadap keburukan yang dilakukan.

Aku tak tahu persis dari mana suara itu berasal. Namun, setiap kali aku selesai memejamkan mata, mungkin sudah dalam keadaan tidur, tiba-tiba saja suara itu datang dengan sendirinya, lagi dan lagi. Khususnya di malam hari saat semua kesibukan sepanjang hari sudah selesai dan menyisakan lelah dan keinginan untuk istirahat.

Awalnya, aku mengira itu hanya mimpi biasa yang terkadang menjadi bunga tidur dan tidak perlu dipertanyakan, apalagi diperdebatkan. Meskipun setelah bangun tidur pasti ada ketakutan yang diam-diam menyergap. Seperti mendekapku begitu erat.

Pagi harinya, sempat timbul hasrat untuk menceritakan apa yang kualami semalam. Perihal suara-suara itu. Suara yang sekilas kutangkap mengandung rasa takut dan sakit yang entah karena apa. Hanya itu yang berhasil kutangkap dan kutafsirkan. Selebihnya, hanya ketidakjelasan dan efek lupa yang bisa kujelaskan.

"Tapi siapa juga yang mau mendengarkan kisah mimpi tentang suara-suara aneh yang sekilas muncul diiringi penampakan siksa kubur? Bukankah hal-hal seperti itu sudah sering menjadi bahan kajian dan ceramah para kyai saat berada di acara pengajian atau forum keilmuan. Dan aku yakin, rekan kerjaku juga tidak akan mau mendengarkan. Kecuali, jika mimpi itu berhubungan dengan seorang perempuan cantik dengan adegan panas yang sering jadi tontonan anak-anak muda secara diam-diam.

Lebih-lebih aku tidak bisa menangkap pemandangan penyiksaan itu secara jelas. Hanya ada kalimat rintihan, tangisan, dan sesenggukan yang terdengar setiap kali pukulan selesai dijatuhkan.

"Oh tidak, sepertinya lebih baik kusimpan sendiri mimpi ini. Jika suatu saat terjadi sesuatu yang kurang mengenakkan, mungkin opsi bercerita pada orang lain bisa menjadi pilihan," batinku.

Di tengah kebingungan itu, aku berusaha untuk tetap terlihat biasa-biasa, sebisa mungkin tetap produktif dan semangat dalam menyesaikan tugas. Apalagi sebagai layouter dalam suatu penerbitan, mood adalah salah satu faktor penting dalam memaksimalkan kinerja dan hasil pekerjaan.

"Garapan selanjutnya sudah saya taruh di meja ya," ucap Pemimpin Redaksi.

"Ok siap, Pak," jawabku dengan tegas.

Ada beberapa foto dan narasi yang menumpuk di atas mejaku. Sesuai permintaan, foto-foto dan narasi itu akan dijadikan tiga halaman. Tidak boleh lebih, apalagi kurang.

Sekilas dan secara cepat, suara-suara itu datang lagi. Entah lewat mana hingga berhasil sampai di kedua telingaku. Mengingatkanku kembali pada mimpi-mimpi itu. Dan sama seperti kemarin, suara itu semacam suara minta tolong, semacam suara rintihan, dan tangis yang sesekali diikuti sesenggukan yang tertahan.

Suara itu begitu jelas di telingaku. Tapi aku tidak bisa menangkap siapa pemilik suara itu, atau dari arah mana suara itu berasal. Sungguh aneh.

"Oh tidak, jangan-jangan aku sudah gila?" Tanyaku pada diri sendiri.

Akhirnya, aku memutuskan untuk beranjak dan mencari udara segar di luar. Sepertinya terlalu serius menyelesaikan pekerjaan juga kurang baik untuk kesehatan.

Lalu tanpa sengaja, di seberang jalan sana, seperti sebuah pertunjukan yang tiba-tiba hadir di depanku, aku menyaksikan sepasang kekasih yang sedang mengumbar hasrat asmaranya di muka umum. Di bangku panjang berwarna putih yang dikelilingi rumput hijau dan beberapa pohon mangga. Tampak sangat jelas, si laki-laki dengan penuh semangat meremas bagian dada si perempuan yang menonjol. Sesekali tangan kirinya berpindah ke area bawah. Begitu seterusnya. Di samping itu, ada juga adegan ciuman yang membuatku miris dan spontan mengingat Tuhan.

"Astaghfirullah," batinku.

Apakah mungkin mereka adalah sepasang suami istri yang sudah halal? Entahlah, tapi sepertinya jika dilihat secara lebih dalam, keduanya masih berstatus pacaran.

Aku balik badan. Pemandangan spontan berubah drastis. Aku seperti sedang berada di dunia baru yang dengan begitu cepat berubah. Entahlah, aku benar-benar tidak mengerti.

Di depanku, tampak dua orang pemuda yang sedang asik bercerita satu sama lain. Satu pemuda berambut pendek, sama dengan postur tubuhnya. Yang satunya berambut panjang dan bertubuh gempal. Aku juga tidak tahu nama mereka, siapa mereka sebenarnya, mereka dari mana, dan seterusnya. Yang aku tahu, mereka tiba-tiba saja ada di depanku, bercerita tentang suatu hal yang itu seolah-olah diperuntukkan untukku.

Meski suara keduanya tidak keras, tapi aku bisa mendengar kedua pemuda itu berbicara dengan jelas. Yang satu menceritakan tentang pengalamannya menghamili istri orang lain di sebuah hotel bintang lima yang baru saja buka dua bulan. Yang satu lagi bercerita tentang keberhasilannya membunuh seseorang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Sungguh, mendengar dua cerita itu yang digaungkan dengan bangga, membuat hatiku merasa teriris.

Aku memutuskan untuk pulang. Sebelum itu, aku meminta izin terlebih dahulu pada pimpinan. Alasannya satu: merasa tidak enak badan. Jika dipaksa untuk bekerja, sepertinya tidak akan maksimal. Dan tak tanggung-tanggung, aku langsung izin tidak masuk kantor selama tiga hari. Ya, aku benar-benar ingin istirahat. Jika pun ada pekerjaan yang harus digarap, aku ingin menyelesaikannya dari rumah.

"Kamu sakit apa, Wil?" Tanya pemimpin redaksi setelah aku menyampaikan keluhan dan permintaan.

"Sepertinya hanya butuh istirahat ekstra, Pak," jawabku sekenanya.

"Kamu yakin hanya butuh istirahat? Maksudku tidak ada hal lain yang kamu sembuyikan kan?" Tanyanya memastikan.

"Tidak ada, Pak," jawabku mantap.

Setelah melalui beberapa pertanyaan dan pertimbangan, akhirnya aku diberikan izin untuk tidak masuk kantor selama tiga hari. Dengan catatan, semua pekerjaanku tetap bisa dipertanggungjawabkan.

***

Mimpi itu datang lagi. Lagi dan lagi. Aku semakin takut. Apakah maksud dari semua ini? Suara yang mengenaskan dan pemandangan yang menakutkan bercampur satu.

Ada orang yang dicambuk sampai bermandikan darah. Ada orang yang lidahnya terus dipotong tak mengenal henti. Ada perempuan yang kemaluannya ditusuk dengan parang yang luar biasa panas. Ada yang digantung di tiang dengan rambutnya sendiri, lalu di bawah terdapat ular yang perlahan-lahan menggerogoti kakinya.

Semuanya menjerit. Semuanya berteriak. Semuanya menangis. Tidak ada sedikit pun ampun untuk mereka. Sebab pintu taubat telah ditutup. Sebab tidak ada lagi ampunan yang tersisa.

Siapakah mereka? Kenapa mereka mendapatkan penyiksaan yang begitu pedih? Ya, pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam kepalaku setiap kali terjaga dari tidur. Aku pun belum sepenuhnya paham, apakah semua ini adalah peringatan padaku. Atau mungkin ini adalah gambaran tentang orang-orag akhir zaman yang katanya akan semakin jauh dengan Tuhan?

Jika memang iya, sungguh, keinginanku untuk panjang umur akan kupertimbangkan kembali. Panjang umur boleh, tapi mungkin tidak terlalu panjang sampai tergolong umat akhir zaman. Umat yang bangga dengan dosanya, tidak mau diatur agama, dan nutut terhadap kedatangan Dajjal laknatullah. Sungguh, aku tidak mau hidup sampai kiamat.

Akhirnya, aku melakukan konsultasi ke beberapa pihak. Dokter, dukun, dan kyai. Menurut dokter, itu adalah efek dari banyak pikiran. Kata dukun, itu adalah gambaran tentang masa depan orang-orang akhir zaman. Dan menurut kyai, aku hanya disuruh perbanyak istighfar, diberikan suatu amalan, dan disuruh mendekatkan diri pada Tuhan. Ya, hanya itu saja.

Tapi aku masih belum puas. Meski setelah mengamalkan amalan yang diberikan oleh kyai dan terbukti manjur, mimpi itu sudah tidak datang setiap malam, tapi tetap saja, suara-suara mengenaskan itu masih tetap terngiang di kedua telingaku. Baik saat hendak tidur, belanja kebutuhan dapur di pasar, dan aktivitas lainnya.

Dari peristiwa ini, aku hanya berharap semoga aku bisa menjadi hamba yang taat dan selamat meski sudah masuk dalam lingkaran akhir zaman. Ditakdirkan menjadi hamba yang mendapatkan rahmat dari Tuhan. Ditakdirkan untuk hidup bahagia selamanya di akhirat. Amiin ya Robal Alamiin***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun