Mohon tunggu...
M. Kholilur Rohman
M. Kholilur Rohman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep sekaligus Murabbi Ma'had Sunan Ampel Al-Aly (MSAA) UIN Malang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Puisi yang Tertinggal di Secangkir Kopi

17 Juli 2024   09:00 Diperbarui: 17 Juli 2024   09:03 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku masih ingat betul bagaimana peristiwa dua minggu yang lalu. Saat aku duduk sendirian di sebuah cafe yang kulupa namanya. Cafe dengan view alam berpadu dengan rak-rak minimalis yang terisi beragam jenis buku; puisi, cerpen, novel, bahkan buku-buku ilmiah yang tak bisa kuingat satu-persatu.

Waktu itu, sambil menunggu kedatanganmu, kucoba mengambil satu novel berjudul "Cantik Itu Luka" karya Eka Kurniawan. Ya, meski aku bukan tipikal pengrajin buku, tapi bukan berarti anti buku, sebagai perempuan, judul novel itu amat menarik bagiku. Entah, mungkin karena aku merasa cantik sampai membuat seorang laki-laki asing rutin men-DM ku dengan pembahasan yang sangat aneh. Menurutku waktu itu.

***
Sekilas akan kuceritakan pada pembaca bagaimana mulanya perkenalan kita dimulai hingga pertemuan ini digelar. Awalnya, di sore hari, saat senja sudah mulai menampakkan wajahnya, sebuah DM masuk ke akunku dari orang tak kukenal yang kemudian nantinya menjadi kau. Waktu itu, kau men-DM akun instagramku dengan perkenalan yang cukup formal. Kau menyebutkan nama, asal, dan maksud dari perkenalanmu; ingin menjadi teman. Ah! Aku yang sangat anti dengan orang asing tentu memilih mengabaikan pesanmu. Lalu aku kembali sibuk bersama teman-teman. Membahas tentang banyak hal; apa saja yang penting membuat kita senang.

"Hey kamu kenapa? Kok senyam-senyum sendiri? Tanya Dita. Teman SMP yang peetama kali menangkap perubahan ekspresi wajahku.
"Eh, nggak ada apa-apa kok," jawabku sedikit terbata-bata.
"Hayoo..udah nemu pasangan baru nih," ucap Dina dengan nada menggojlok.
"Hush, udah nggak usah dipikirin, nggak penting," balasku lalu berusaha mengalihkan pembahasan.
"Hati-hati loh, sekarang banyak modus penipuan berkedok asmara," saran Lukman. Teman yang paling religius diantara kami berempat.

Tak cukup sampai di situ, kukira kau sudah menyerah di seberang sana setelah dua pesan basa-basimu kuabaikan. Tapi ternyata aku salah. Kau malah mengirimkan sebuah paragraf yang kusebut sebagai puisi. Kenapa kusebut puisi? Karena diksi-diksi yang kau gunakan, menurutku anti mainstream. Susunan kalimat yang cukup; tak kurang atau berlebih. Dan yang paling penting, kau menyelipkan imajinasi yang membuatku harus berpikir untuk menangkap makna satu paragrafmu itu. "Mungkin begini, mungkin begitu". Itulah kalimat yang cocok untuk menggambarkan bagaimana otakku kau suruh bekerja.

Akibat terpesona dengan kalimat itu, spontan kubalas DM mu dengan kata "Bagus" diikuti emot jempol setelahnya. Mungkin, prediksiku kau sedang senyam-senyum di sana. Persis seperti aku yang masih senyam-senyum saat kubaca ulang satu paragrafmu itu. Ah, rasa-rasanya lebih baik kusimpan sendiri saja satu paragrafmu itu. Tanpa perlu diumbar pada orang lain, termasuk teman akrabku yang sedang berkumpul saat ini.

Dari dua cowok yang berusaha mendekatiku beberapa hari yang lalu, kau tergolong lelaki yang tidak membosankan. Padahal jika dilihat dari segi finansial, jelas mereka yang lebih banyak menghabiskan uang karena sering mengirimiku bunga, cokelat, dan hadiah-hadiah lainnya yang mereka prediksi bakal disukai perempuan. Nyatanya aku memang suka. Tapi kau, hanya bermodalkan pengetahuan dan keterampilan menulis dengan diksi-diksimu yang menggoda pembaca. Dan hebatnya, kau cukup berhasil membuatku betah membaca semua tulisanmu setelah banyak percakapan yang kita lalui.

Setelah cukup lama berpikir, akhirnya kuputuskan untuk tidak lagi menerima hadiah dari dua orang lelaki yang baru-baru ini kuketahui bernama Usman dan Anwar. Entah itu nama asli atau samaran, yang jelas keduanya sama-sama berusaha mendekatiku dengan jurus yang terbilang sama; memberiku hadiah.

Aku khawatir, semakin lama kuterima hadiah dari mereka, semakin tinggi pula ekspektasi mereka bahwa aku akan menerima cintanya. Padahal keduanya tidak pernah tahu kalau aku hanya sebatas merespon sebaik mungkin setiap chat yang mereka kirim. Tak lebih dari itu. Dan tentu tidak memakai perasaan. Ah tidak, jahatkah aku sebagai perempuan? Tapi, bukankah ditinggalkan seseorang yang istimewa adalah resiko yang harus diterima oleh setiap pecinta, termasuk mereka? Aku rasa begitu.

Memang, dua lelaki itu sama-sama orang baik. Aku mengenal Usman dari acara bedah buku yang digelar beberapa hari lalu. Sementara Anwar, aku mengenalnya sebagai teman kuliah yang rajin membantu setiap tugasku. Tanpa kuminta. Tapi untuk masalah perasaan, keduanya terlampau jauh dari apa yang kuinginkan. Ya, semoga saja mereka mengikhlaskan apa-apa yang telah diberikan padaku tanpa harus meminta balasan. Dalam bentuk apapun.

Setelah mengganti nomor baru, tidak ada lagi chat dari Anwar dan Usman. Kuharap keduanya mengerti maksud dari sikap yang kuambil ini. Toh keduanya sudah sama-sama dewasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun