Mohon tunggu...
Kholifaturokhma IFA
Kholifaturokhma IFA Mohon Tunggu... -

Pelajar SMA Negeri 2 Wonosobo.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu, Malaikat tak Bersayap

9 Maret 2013   02:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:05 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi buta sebelum adzan berkumandang dan ayam berkokok, Ibu tak hentinya membangunkanku dari tidur lelapku. Tidur nyenyak dengan diiringi mimpi terindah bersama kekasihku tersayang. Ah! Aku malas sekali bangun, tapi keharusanku untuk bangun dan mengerjakan sholat ini sudah menjadi kewajiban. Yap aku pun bangun. Dengan malas aku sempoyongan, badan ku ini ku seret sampai ke kamar mandi, tepat ruangan di pojok belakang, cukup angker tapi karena sudah terbiasa aku tak merasa takut dengan keadaan ini. Ibu selalu bilang “Bangunlah nak, segera ambil air wudhlu, laksanakanlah sholat tepat pada waktunya” ingat pesan ibu itu semangatku untuk terbangun akhirnya ada.

Ku ambil handuk kesayanganku, 15 menit waktu ku habiskan untuk membersihkan badanku di pagi ini. Gelap.. bintangpun masih terlihat, terkadang bulan yang menemani malampun masih indah ku pandangi setelah aku selesai mandi. Tak lupa ku ambil air wudhlu lalu melaksanakan sholat subuh berjama’ah bersama ayah dan ibuku. Pagi-pagiku selalu indah ditemani ayah dan ibu untuk mendekatkan diri pada Sang Khaliq.

Kini pagiku telah suram. Tak ku bisa rasakan lagi suasana sejuk seperti itu. Aku tak bisa mendengar lagi ayah menjadi imamku. Tepat dahulu di usia ku yang ke 5 tahun, waktu itu aku masih TK, ayah meninggalkan ibuku. Perceraian harus kami alami. Yak gara-gara pecundang sialan itu. Ia selingkuh dengan perawan desa yang yeah memang anggun. Aku tak menyangka memang. Tapi inilah yang terjadi. Lelaki yang dahulu menjadi panutanku. Kegigihannya dalam bekerja keras, kekuatannya dalam menjunjung kekeluargaan, dan kesholehannya dalam membimbing keluarga menjadi kunci utama hidup kami. Entah waktu itu ia berfikir apa, kerasukan apa, kecanduan apa sampai akhirnya ia kepergok sedang berzina dengan gadis kampung murahan itu. Ibuku yang tak berdosa hanya bisa menangis. Ia tak bisa menahan malu, hatinya benar-benar tergores pisau tajam dalam selimut.

Balik jeruji besi tempat pecundang itu menghabiskan sisa hidupnya. Sebodo aku gak ngurus lagi dia mau jadi seperti apa. Kalau bukan karenanya waktu itupun aku saat ini masih bisa merasakan kasih sayang tulus seorang ayah. Tapi kini tidak untukku.

Usiaku yang telah menginjak 16 tahun ini mulai merasakan kesepian, kepenatan. Aku bosan! Hidupku hanya dilindungi oleh gubuk cilik di kampung. Aku dan ibuku hanya makan sekedarnya saja apa yang ada. Uang kamipun tak punya. Pernah suatu hari aku benar-benar merasa jijik. Ibuku dengan kaos rombengnya terus mengeluh memintaku agar mencari makan. Aku muak! Aku kesal harus hidup seperti ini terus. Tak ku hiraukan dia. Aku yang saat ini sekolah di SMA dengan keadaan siswa yang sangat mampu, merasa menjadi manusia termiskin di dunia. Terbalut seragam kumuh aku menenteng tas setiap pagi untuk ke sekolah. Bermodalkan jalan kaki menuju sekolah yang jaraknya tak cukup dekat, membuat keringatku bercucuran sesampaiku di sekolah. Aku malu !! sudah pakaianku pasti usang, uang tak ku kantongi, tenaga habis, ya inilah aku. Terlalu hidup menerima nasib. Tapi beberapa bulan setelahnya, aku bangga dengan prestasiku. Aku menjadi bintang kelas. Aku bisa mendapatkan seragam baru, sepatu baru, dan aku sudah menjadi bersih. Dengan hadiah dari beebrapa guru dan teman-temanku, aku bisa terlihat lebih mewah. Banyak teman yang mengagumi keuletan belajarku waktu itu, kelas X.

Sering sepulang sekolah aku diajak ke tempat teman yang kebetulan anak konglomerat. Ia memintaku untuk mengajarinya belajar. Padahal guru kita sama, pelajaran yang diterimapun sama, tapi ia memilihku untuk menjadi tutorialnya. Akhirnya kami membentuk grup belajar bersama. Setiap pulang sekolah mereka para konglomerat menjemput kita dengan mobil mewahnya. Sampai di rumahnya, disuguhi banyak makanan enak, dengan cepat kita menghabiskannya. Lalu kita belajar. Sharing yang dilakukan cukup menarik dan menghasilkan hasil yang sangat baik. Nilai teman-temanku meningkat semua.

*

Setiap hari Ibu merintih kesakitan. Mukanya semakin tua. Ia tak pernah ada yang mengurus. Aku terlalu muak melihat keadaan rumah, aku selalu ingin muntah melihatnya. Aku selalu menghabiskan waktu bersama teman-temanku, aku bangga aku bisa berhura-hura. Tak pernah aku fikirkan si tua itu sedang apa, makan apa. Haha tak cukuplah waktuku untuk memikirkannya.yang pentting saat ini aku merasakan nikmatnya hidup.

Selalu saja sepulangku berhura-hura, si tua itu merengek meminta makan. Seenaknya saja ia seperti itu, emangnya aku apa. Aku juga tak bawa makanan. Mana bisa aku membawa pulang makanan yang ada disana, aku ya untukku. Risih aku mendengarnya. Saat ia semakin mendekat, aku semakin mengamuknya. Aku lempar barang-barang yang ada di rumah. Tiga tahun aku hidup dengan ibu, aku tak pernah merasakan perubahan di rumah tua ini. Bahkan hidup ini semakin sulit, untung ada teman-teman yang kaya itu. Aku bisa menghirup udara yang lebih berwarna. Apalagi aku kini telah mengenal dunia gemerlap. Yehaiiiii semakin berwarna saja hidupku ini. Mereka mengajakku untuk melihat indahnya hidup. Bisa merasakan inilah hidup anak muda masa kini. Jadilah waktuku tersita dengan nikmatnya dunia. Kini aku tak pernah lagi pulang sore. Tapi aku pulang lebih malam. Yuhuuu semakin larut semakin asik merasakan music DJ yang berdengung kencang ditelingaku. Merasakan minuman yang awalnya aku rasakan seperti berputar 3600. Membuatku semakin menikmati music DJ sambil ketawa-tawa bersama teman-teman.

*

Banyak warga protes melihat aku pulang malam. Memangnya aku mengganggu mereka? TIDAK yaaaa.. masa bodo yang penting happy. Usia 17 ku lalui dengan hura-hura penuh warna di hidup ini. Tak merasa terbebani, tak ku rasa lagi penat yang selama ini melanda, dan aku udah gak ingat lagi pecundang tua yang kini meringkuk di sel tahanan.

Di rumah Ibu sudah dibantu tetangga, asiknya aku jadi gak usah mikirin dia lagi. Ibu sering melarangku untuk pergi, tapi apa daya aku tak bisa menahan rasa inginku menghabiskan malam dengan semua temanku. Dengan dzikir ibu hanya memohon pada Tuhan agar aku panjang umur. Di setiap doanya hanya untukku, tapi percuma toh aku tak mendengarnya, itu saja kata tetangga yang merawat ibuku.

*

Teman baru! Ya dia tiba-tiba datang di hidupku. Katanya ia mengagumi semua prestasiku di sekolah. Prestasi? Oh yeah aku udah gak melihat itu. Sampai lupa kalau aku punya prestasi. Herannya aku tetap bisa mendapat nilai yang baik, tau kenapa. Hariku bertambah seru dengan kehadirannya. Ia seperti penyemangat baru di hidupku, ia pengingat untukku bahwa aku harus tetap belajar. Bahkan ia sering mengajakku ke perpustakaan. Hobby baru!

Tanpa aku sadari, ternyata dia adalah salah satu putri dari salah satu guru di sekolahku. Dia melihat jelas perubahan dari diriku. Aku saja tidak pernah menyadari perubahan itu, hanya aku terlalu menikmati kefanaan. Dia dengan sabar selalu disampingku. Aku bingung ! Inilah yang aku anggap perubahan. Kehadirannya bagaikan malaikat! Dia mengajarkanku tentang arti hidup yang sebenarnya bahwa hidup ini hanya untuk sementara, jangan menghabiskan hidup ini untuk berfoya-foya tidak jelas.

Semua tutur kata yang ia kasih, ternyata mampu membukakan hatiku untuk sadar akan besarnya dosa dan kesaalahan diriku pada seorang Ibu yang begitu sayang denganku. Aku tertunduk dalam kamar di balik kecerahan hati setelah menelaah setiap nasihat teman baruku itu. Aku sadar ! Dan aku berpaling untuk kembali ke jalan yang benar. Aku melangkah ke belakang dan mengambil air wudhu. Di sepertiga malam ini, aku bersujud memohon ampunan dari Sang Pencipta. Aku terisak menengadahkan kedua telapak tanganku. Dzikirpun aku lantunkan untuk menguatkan hati ini. Setelahnya aku merasakan kenyamanan.

Seiring berjalannya waktu aku mulai melupakan dunia fana kegerlapan itu. Teman-teman juga tak merespon kepergianku, walau mereka tetap masih belajar denganku sesekali waktu. Aku kini menghabiskan waktu dengan teman baruku yang telah memberikan penerangan dalam hidupku yang pernah sesat dalam kegelapan hati.

*

Hari ini tepat di tanggal 21 Desember, temanku itu mengingatkan bahwa hari besok adalah Hari Ibu. Jlebb!! Tiba-tiba aku lunglai tak berdaya. Dia membawaku ke kamar ku yang masih kotor karena tak ada yang membersihkan selain Ibu dan saat itu Ibu tak sempat membereskannya. Setibanya aku di rumah, Ibu menatapku iba. Ia takut aku akan memarahinya karena keadaan rumah yang belum sempat ia bersihkan. Tapi temanku itu telah menyadarkanku. Ia bercerita banyak tentang sosok Ibu yang selama ini ia rindukan, ia banggakan dan ia sayangi. Ibunya yang telah pergi untuk selamanya dan takkan mungkin kembali lagi di dunia ini membuatnya meneteskan air mata. Ia menceritakan kebaikan dan ketulusan seorang Ibu pada anaknya itu seperti apa. Tak kuasa ku menahan air mata ini, akhirnya menetes juga. Aku!! ya aku yang bodoh. Aku yang tak tahu terimakasih, tak bisa berbalas budi pada ibu, aku yang selama ini tak pernah menyayangi ibu. Tapi temanku ini memberi gambaran bahwa Ibulah malaikat, malaikat tanpa sayap yang selalu melindungi anaknya. Kasih sayangnya tak terbatas, sampai kapanpun, dengan keadaan apapun Ibu akan selalu mencintai anaknya, ia akan tetap memberikan yang terbaik bagi anaknya walau terkadang anak yang mereka sayangi tak pernah membuatnya bahagia, tapi ia tak pantang menyerah. Inilah sosok malaikat yang seharusnya kita sanjung, kita sayangi dan kita teladani kebajikannya.

Keseharianku yang selalu membantah ibuku kini mulai luntur. Aku tak pernah kasar lagi dengan ibuku. Bahkan kini aku merasa kasihan dengannya. Aku terlalu ambisius untuk senang sampai ibuku saja tak pernah aku fikirkan. Sekarang aku mulai kembali bersama ibu, aku menyadari kehadirannya. Prestasi yang selama ini aku raih itu karena berkat doa ibu ku. Tanpanya aku tak mungkin lah seperti saat ini. Doanya begitu ampuh membuatku selalu menjadi yang terbaik. Sayang aku tak menyadari sejak kepergian ayahku. Aku dibimbing dan dibesarkan ibu, ia tak pernah mengeluh, ia hanya ingin aku membantu hidupnya yang sudah mulai tak berdaya ini. Akhirnya baru kali ini aku membawanya ke dokter, ia diperiksa, untung saja ia tak disuruh bermalam di rumah sakit. Aku merawat ibu dengan tulus ikhlas, mengingat betapa besar pengorbanannya untuk membesarkanku, aku jadi malu kenapa baru saat ini aku sadar.

Tepat di Hari Ibu ini aku bersujud ditelapak kaki ibuku. Penuh bersalah dan keikhlasan aku meminta maaf atas segala kesalahanku. Air mata ini seperti desiran darah dalam jantungku, begitu cepatnya. Aku menangis penuh penyesalan. Dan dengan tenang ibu menjawab “Ibu selalu memaafkanmu nak, berdirilah.. berhentilah kau menangis, Ibu yakin kamu akan menjadi yang lebih baik dari Ibu....” tak kuasa ku peluk Ibu, ku cium beliau ku jabat erat tangannya. Aku tak ingin Ibu meninggalkanku. Aku ingin Ibu sehat dan diberi umur panjang hingga Ibu melihat aku sukses karenanya. Hari special untuk semua Ibu di dunia, khususnya Ibuku, walaupun aku tak memberinya apa-apa, tapi ia hanya meminta doa yang tulus dari diriku ini. Aku peluk Ibu dan aku ucapkan “Selamat hari Ibu.. aku sayang Ibu.. Selamanya aku akan sayang Ibu” dan ibu membalas dengan senyum terindahnya untuk diriku. Kini kehangatan Ibu telah kembali dan aku telah bisa merasakannya lagi.

Tuhan..

Engkau memang hebat

Engkau ciptakan orang yang begitu sayang untuk diriku

Engkau menitipkan kasih sayang-Mu untukku

Dan Engkau pula yang menyanjungkanku akan pengorbanannya

Dia.. IBU sang malaikatku

Penuh kasih telah ia torehkan

Hanya untuk diriku

Dan aku sungguh menyayanginya..

Sampai ajalku, aku tetap menyayanginya..

Karena aku bangga aku memiliki IBU

IBU yang tegar dan begitu tabah menghadapi kejamnya hidup ini

Terima kasih Tuhan..

Aku sayang IBU..

###

SELESAI

Created By:

KHOLIFATUROKHMA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun