Upaya mengkonstruksikan perempuan dalam posisi yang lebih setara dengan laki-laki seringkali terhadang opini publik Indonesia yang melihat bahwa pemikiran emansipatoris berpotensi mendorong perempuan keluar dari "hukum alam". Ini terjadi karena aktualisasi dari nilai kesetaraan gender seringkali menempatkan perempuan dalam posisi menjalankan peran publik.Â
Secara simultan, perempuan yang sama juga dilihat secara alamiah memiliki tanggungjawab menjalankan peran domestiknya dalam keluarga. Dalam banyak kasus, peran domestik yang "diesensialisasikan" sebagai bagian perempuan ini menjadi lebih mengemuka. Melalui proses inilah domestifikasi perempuan di Indonesia tereproduksi secara sistemik.
Sementara wacana kesetaraan gender berangkat dari asumsi yang berbeda, yaitu melihat bahwa posisi baik laki-laki maupun perempuan di wilayah publik maupun privat adalah dikonstruksikan secara sosial. Berangkat dari asumsi tersebut wacana kesetaraan gender pada dasarnya melihat bahwa posisi dan peran masing-masing tidak diesensialisasikan dan keduanya diletakkan dalam hubungan yang setara.Â
Upaya kesetaraan gender, setidaknya menurut wacana feminisme liberal yang relatif dominan dalam wacana feminisme saat ini, perlu didasarkan pada asumsi kesetaraan individu laki-laki dan perempuan sebagai agen sosial.Â
Ini didukung oleh argumentasi tentang kesetaraan hak asasi manusia dan demokrasi. Namun demikian, seperti dikemukakan di atas, begitu juga disampaikan oleh Anna Marie Wati, ide feminisme semacam ini dan juga ide kesetaraan gender secara umum tidak terbentuk dan berangkat dari konteks Indonesia di mana kesadaran tentang struktur sosial dan keagenan lebih didasarkan pada nalar kolektivitas.
Kedua wacana tersebut adalah dua wacana tentang posisi dan peran perempuan di Indonesia yang tengah bernegosiasi untuk mencapai suatu titik keseimbangan tertentu.Â
Titik keseimbangan di sini adalah sesuatu yang berada dalam wilayah konseptual. Pada prakteknya, yang disebut titik keseimbangan ini selalu berubah, sehingga proses mencapai titik ini bisa dikatakan tidak pernah berakhir. Dalam proses itu sendiri, seringkali muncul situasi dilematis dan ambigu.Â
Namun demikian situasi dilematis dan ambigu ini mau tidak mau harus dihadapi oleh setiap kita yang hidup dalam realitas sosial. Pilihan posisi harus diambil dan diaktualisasikan dalam kehidupan sosial.Â
Namun, ada kesadaran sekaligus kritisisme bahwa apapun pilihan yang diambil selalu tidak akan pernah mampu secara total menyelesaikan kontradiksi, dilema, dan ambiguitas yang melingkupinya. Hal ini membuat proses menjadi "perempuan" itu sendiri menjadi sebuah upaya yang terus menerus sebagai interaksi antara subyek yang bersangkutan dengan lingkungannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H