Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dari YOLO ke YONO: Keseimbangan Hidup

9 Januari 2025   21:12 Diperbarui: 9 Januari 2025   21:12 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://qmfinancial.com/2025/01/gaya-hidup-yolo-dan-yono/

Dalam era modern, filosofi hidup sering kali diwakili oleh singkatan-singkatan menarik yang menjadi panduan hidup bagi sebagian orang. Dua akronim yang sering dibandingkan adalah YOLO (You Only Live Once) dan YONO (You Only Need Once). Meskipun tampak serupa, keduanya menawarkan pandangan hidup yang kontras: YOLO mengedepankan semangat menjalani hidup sepenuhnya, sedangkan YONO menekankan kebijaksanaan dan keberlanjutan. Keduanya mencerminkan pilihan-pilihan yang kita buat dalam perjalanan hidup di dunia ini.

YOLO: Hidup Hanya Sekali

Filosofi YOLO, yang mulai populer di awal 2010-an, berakar pada pemikiran eksistensialisme dan hedonisme. Eksistensialisme menekankan bahwa hidup manusia adalah pengalaman unik yang hanya terjadi sekali, sehingga harus dijalani dengan autentisitas. Di sisi lain, hedonisme berfokus pada pencarian kebahagiaan dan kenikmatan sebagai tujuan utama.

Pendekatan YOLO ini mendorong seseorang untuk memanfaatkan setiap momen sebaik mungkin, mencoba hal-hal baru, dan hidup tanpa rasa penyesalan. Sebagai contoh, seorang profesional muda mungkin memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya yang mapan demi mengejar impian menjadi seniman. Dengan semangat YOLO, ia berani mengambil risiko besar demi mencapai kebahagiaan pribadi.

Namun, filosofi YOLO tidak tanpa risiko. Dorongan untuk hidup tanpa penyesalan sering kali membuat seseorang membuat keputusan impulsif, seperti menghabiskan tabungan untuk perjalanan mewah tanpa mempertimbangkan kebutuhan masa depan. Dalam skenario lain, filosofi ini juga dapat memicu gaya hidup konsumtif, di mana kebahagiaan diukur dari kepemilikan barang atau pengalaman instan, yang akhirnya merugikan diri sendiri.

YONO: Hidup yang Bijaksana

Sebaliknya, YONO mengusung nilai minimalisme dan keberlanjutan. Berakar pada stoikisme dan ekologi, filosofi ini mendorong pengendalian diri serta penghargaan terhadap keseimbangan dalam hidup. Stoikisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari kemampuan mengelola keinginan dan menerima apa yang tidak dapat diubah. Sementara itu, ekologi mengingatkan pentingnya menjaga sumber daya dan lingkungan agar tetap berkelanjutan.

Filosofi YONO mengajarkan bahwa seseorang tidak memerlukan banyak hal untuk hidup bahagia. Sebagai contoh, seseorang yang mempraktikkan YONO mungkin memilih hidup sederhana dengan hanya memiliki barang-barang esensial. Ia lebih fokus pada pengalaman bermakna, seperti menghabiskan waktu bersama keluarga, daripada mengejar kepemilikan materi yang berlebihan.

Namun, YONO juga memiliki keterbatasan. Pendekatan ini dapat dianggap terlalu berhati-hati dan kurang memacu petualangan. Dalam beberapa kasus, seseorang mungkin melewatkan kesempatan berharga karena terlalu fokus pada pengendalian diri atau merasa takut untuk mencoba hal baru.

Gabungan YOLO dan YONO: Hidup yang Seimbang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun