Kata  'koruptor' memiliki akar etimologis dari bahasa Latin corruptus, yang berasal dari kata kerja corrumpere, yang berarti merusak, menghancurkan, atau "mengubah menjadi buruk." Kata ini terdiri dari dua elemen utama, yaitu cor, yang berarti 'bersama' atau 'kolektif', dan rumpere, yang berarti  'memecahkan' atau 'menghancurkan'. Jadi secara kalamiah,  kata ini merujuk pada tindakan menghancurkan sesuatu secara kolektif atau bersama-sama.Â
Dari bahasa Latin, istilah ini kemudian diadopsi ke dalam bahasa Prancis Kuno sebagai corrupt, kemudian masuk ke bahasa Inggris sebagai corruptor pada abad ke-14, yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tidak jujur atau yang melakukan tindakan destruktif. Dalam bahasa Indonesia, istilah "koruptor" diambil dari bahasa Belanda (corrupteur) dan berkembang menjadi istilah hukum modern yang merujuk pada pelaku tindak pidana korupsi.
Meskipun memiliki konotasi negatif, kata koruptor sering dianggap terlalu formal dan legalistik. Sebagai kategori hukum, istilah ini dinilai tidak cukup kuat untuk memberikan tekanan sosial atau moral yang signifikan kepada pelakunya. Akibatnya, istilah ini di negara kita dinilai  gagal menciptakan rasa malu atau efek jera  dalam mengurangi maraknya kejahatan korupsi. Sebagai contoh, pada Pemilu 2024, data ICW menunjukkan terdapat 56 mantan narapidana kasus korupsi yang nekad menjadi Caleg, dengan dua di antaranya---Nurdin Halid dan Desy Yusandi---berhasil terpilih. Fenomena ini bisa  mencerminkan betapa lemahnya efek sosial dari label "koruptor" yang disematkan kepada mereka.
Dalam masyarakat Indonesia, sesungguhnya susdah ada berbagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan pelaku kejahatan  dengan konotasi negatif yang lebih tajam. Misalnya, "pencuri" yang maknanya merujuk pada individu yang mengambil barang orang lain secara diam-diam. Kemudian "perampok" yang mengacu pada pelaku kejahatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman. Selanjunta ada "Penipu" yang menggambarkan seseorang yang menggunakan kebohongan untuk mendapatkan keuntungan, dan "pencoleng" yang  merujuk pada pencuri yang bertindak dengan licik dan terselubung. Julukan-julukan lainnya, seperti "preman" dan "pemeras" menyoroti pelaku yang menggunakan intimidasi atau ancaman untuk mendapatkan keuntungan.Â
Dengan latar belakang tersebut, istilah "Pencoleng" menurut penulis layak dipertimbangkan secara resmi sebagai pengganti istilah 'koruptor'dalam konteks kejahatan korupsi di Indonesia. Alasannya, secara semantik, kata 'pencoleng' merujuk pada pencuri yang menggunakan cara licik dan terencana, yang cocok untuk menggambarkan tindakan korupsi yang sering kali melibatkan strategi sistematis. Selain itu karena kejahatan yang mereka lakukan terhadap negara maka istilah 'pencoleng' juga mempertegas bahwa tindakan korupsi tidak hanya mencuri uang, tetapi juga merampas masa depan bangsa. Penggunaan julukan ini juga menggambarkan dampak besar korupsi terhadap struktur sosial dan ekonomi negara.
Dari perspektif semantik-kognitif, istilah 'Pencoleng' juga  membawa makna yang lebih tajam dan emosional, menciptakan beban sosial yang lebih besar bagi pelaku. Dengan penggunaannya yang konsisten, diharapkan istilah ini dapat memberikan tekanan moral yang signifikan, mempermalukan pelaku, dan membuat mereka dianggap sebagai penghancur tatanan sosial. Hal ini juga diharapkan akan dapat menciptakan efek jera yang lebih kuat, terutama jika istilah tersebut diperkuat dengan penegakan hukum yang tegas dan partisipasi masyarakat dalam menyuarakan penolakan terhadap kejahatan korupsi.
Sesungguhnya, penggunaan istilah tajam untuk koruptor juga telah dilakukan di berbagai negara. Di Tiongkok misanya, istilah Tigers and Flies digunakan dalam kampanye anti-korupsi untuk menggambarkan pejabat tinggi (macan) dan rendah (lalat) yang korup. Di Filipina, koruptor disebut Buwaya atau buaya, yang melambangkan kerakusan dan sifat predatoris. Sementara itu, di Meksiko dan Brasil, istilah Ladrones del Pueblo atau "pencuri rakyat" digunakan untuk menyoroti dampak langsung korupsi terhadap masyarakat luas.
Usulan penggantian istilah 'koruptor dengan  'pencoleng'  di Indonesia tidak hanya relevan secara semantik tetapi juga dapat menjadi alat strategis untuk menciptakan kesadaran kolektif yang lebih kuat tentang bahaya korupsi. Bahasa yang lebih tajam mampu memperbesar tekanan sosial terhadap pelaku, mempertegas dampak tindakan mereka, dan menciptakan stigma yang mempersulit mereka untuk kembali ke ruang publik tanpa rasa malu.
Penggantian istilah ini bukan hanya soal semantik, melainkan sebagai upaya membangun budaya anti-korupsi yang lebih efektif. Dengan menanamkan makna yang lebih tajam, istilah 'pencoleng' Â diharapkan dapat memperkuat kesadaran kolektif masyarakat kita terhadap bahaya korupsi dan mendorong perubahan paradigma dan perilaku mereka, Â yang pada akhirnya membantu menjaga masa depan bangsa dari kehancuran akibat maraknya kejahatan korupsi.
Perubahan penyebutan koruptor menjadi 'pencoleng'  ini tentunya  perlu diiringi dengan penegakan hukum yang tegas dan konsisten agar memiliki dampak yang nyata dalam membangun lingkungan sosial yang menolak korupsi. Penggunaan istilah yang secara semantik lebih tajam dapat memperbesar tekanan sosial terhadap pelaku, menciptakan rasa malu yang lebih besar, dan mendorong efek jera. Namun, hal ini hanya akan efektif jika didukung oleh sistem hukum yang adil, transparan, dan berani menghukum para pelaku tanpa pandang bulu. Dengan kombinasi antara kekuatan linguistik dan penegakan hukum yang kuat, masyarakat diharapkan dapat lebih aktif melawan korupsi, sehingga tercipta budaya yang tidak lagi mentolerir kejahatan ini.Â