Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Efektivitas Kabinet "Obesitas"

27 Oktober 2024   10:17 Diperbarui: 27 Oktober 2024   10:18 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kabinet Presiden Prabowo Subianto yang baru dibentuk pada 20 Oktober 2024 menjadi sorotan publik serta pengamat politik karena jumlah anggotanya yang dianggap sangat besar atau "obesitas." Kabinet yang diberi nama "Merah-Putih" ini memiliki total 109 anggota, terdiri dari 53 menteri dan kepala lembaga, serta 56 wakil menteri. 

Jumlah tersebut jauh melampaui kabinet-kabinet pada masa pemerintahan sebelumnya, seperti era Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono yang berkisar antara 30 hingga 34 orang, bahkan dibandingkan dengan era Soeharto yang hanya berisi sekitar 25-30 orang menteri. Konon kabinet Prabowo yang super-besar ini menyamai Kabinet Dwikora II pada 1966.

 

Tentu saja Prabowo memiliki sejumlah alasan mendasar membentuk kabinet yang jumlah meterinya jauh lebih besar dibandingkan dengan presiden-presiden terdahulu. Pertama, konsekuensi atas pilihan kompromi politik untuk menjaga kestabilan koalisi yang mendukung pemerintahannya. Dalam politik Indonesia, posisi menteri dan wakil menteri sering digunakan sebagai alat untuk menjaga kesetiaan partai-partai yang menjadi bagian dari koalisi. 

Dalam konteks ini, Prabowo yang didukung oleh koalisi besar dengan berbagai partai politik dan kepentingan yang beragam, menjadikan kabinet sebagai instrumen kompromi. Dengan memberikan kursi menteri dan wakil menteri kepada partai-partai tersebut, Prabowo berupaya menjaga dukungan politik yang solid dan mencegah terjadinya perpecahan yang berpotensi mengancam stabilitas pemerintahannya.

Kedua, langkah Prabowo ini juga dapat dilihat sebagai upaya mengakomodasi kepentingan daerah dan menjaga keseimbangan geopolitik. Mengingat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perhatian khusus terhadap kebutuhan daerah yang berbeda menjadi penting. Dengan memperbesar jumlah menteri dan wakil menteri, pemerintah mencoba memberikan perhatian lebih kepada isu-isu lokal dan menyediakan representasi yang lebih baik bagi berbagai daerah. 

Ketiga, kabinet yang besar juga mencerminkan upaya untuk menghadapi tantangan global yang dinilai semakin kompleks. Dunia saat ini menghadapi berbagai krisis global, mulai dari perubahan iklim hingga krisis energi dan ketidakpastian ekonomi. Dalam menghadapi tantangan ini, kabinet besar dengan berbagai pos baru dipandang sebagai langkah antisipatif untuk menangani berbagai krisis secara lebih efektif. 

Meskipun demikian, besarnya kabinet juga telah memunculkan sejumlah tantangan serius yang berpotensi mempengaruhi efektivitas pemerintahan. Pertama, besarnya jumlah pejabat ini menimbulkan beban biaya operasional yang sangat tinggi. Setiap anggota kabinet membutuhkan gaji, tunjangan, serta fasilitas, yang semuanya tentu membebani anggaran negara. Konsekuensinya, dana yang seharusnya bisa digunakan untuk program-program produktif yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat mungkin akan teralihkan untuk menutupi biaya operasional ini. Jika tidak dikelola dengan efisien, biaya besar ini dapat memicu kritik publik terkait pemborosan anggaran negara.

Selain itu, kabinet besar juga berpotensi menciptakan birokrasi yang lebih kompleks dan lamban. Dengan banyaknya pejabat yang terlibat, proses pengambilan keputusan bisa terhambat, dan tumpang tindih wewenang antara kementerian atau lembaga baru yang dibentuk oleh Prabowo berpotensi menimbulkan kebingungan dalam pembagian tugas dan tanggung jawab. Hal ini bisa mengganggu efektivitas dan efisiensi kebijakan pemerintah.

Tidak hanya itu, risiko korupsi juga meningkat dengan bertambahnya jumlah pejabat dalam pemerintahan. Dengan semakin banyaknya posisi yang diisi, pengawasan terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan menjadi lebih sulit. Hal ini dapat menciptakan celah bagi praktik korupsi di berbagai tingkatan pemerintahan, terutama jika mekanisme kontrol dan transparansi tidak diperkuat. Jika kabinet besar ini tidak dikelola dengan baik, persepsi publik terhadap pemerintah bisa memburuk, karena dianggap hanya menguntungkan segelintir elit dan mengabaikan kepentingan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun