Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Beban Berat Mahasiswa di Kampus Merdeka

12 Oktober 2024   06:30 Diperbarui: 12 Oktober 2024   07:09 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://projectmultatuli.org/normalisasi-magang-oleh-kampus-merdeka-di-tengah-kosongnya-perlindungan-hukum/

Kebijakan Merdeka Belajar -- Kampus Merdeka yang dimulai sejak  Januari 2020 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, syahdan bertujuan mulia, yakni untuk memberikan kebebasan kepada mahasiswa dalam menentukan jalur pendidikan mereka. Program ini juga dirancang untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan industri dan masyarakat. 

Melalui kebijakan ini pula mahasiswa diharapkan memiliki opsi untuk terlibat dalam kegiatan seperti magang, pertukaran pelajar, penelitian, dan proyek sosial yang diakui sebagai bagian dari kurikulum akademik. 

Meskipun menawarkan banyak manfaat, kebijakan ini membawa konsekuensi tambahan berupa peningkatan beban akademik, finansial, dan psikologis bagi mahasiswa. Benar, konsep Merdeka Belajar memberikan fleksibilitas dalam memilih jalur pendidikan, tetapi juga menghadirkan tantangan baru. Kurikulum menjadi lebih padat, dengan beberapa program studi dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih singkat dari biasanya. 

Meski hal-hal tersebut  bisa menjadi keuntungan, kenyataannya mahasiswa harus berhadapan dengan beban tugas yang lebih berat dalam waktu yang terbatas, sehingga mereka memiliki sedikit waktu untuk memahami materi dengan baik. Selain itu, mahasiswa juga didorong untuk mengikuti program magang, proyek wirausaha, atau penelitian lapangan yang menambah beban di luar kelas. 

Tantangan terbesar adalah bagaimana mengelola tugas-tugas akademik dan kewajiban non-akademik secara bersamaan, yang sering kali meningkatkan tingkat stres mahasiswa.

Di samping beban akademik, mahasiswa juga menghadapi masalah finansial yang tak kalah berat. Tingginya besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) tetap harus dibayar penuh, meskipun mahasiswa menghabiskan sebagian besar waktu di luar kampus untuk kegiatan magang atau proyek lainnya. Begitu pula mahalnya biaya hidup di kota-kota besar, yang menjadi pusat banyak perguruan tinggi, seperti biaya akomodasi, transportasi, dan makanan, semakin memperburuk situasi keuangan mahasiswa. Untuk mengatasi kebutuhan ini, beberapa mahasiswa terpaksa harus bekerja paruh waktu. 

Namun padatnya jadwal akademik sering kali menyulitkan mereka untuk menyeimbangkan antara pekerjaan dan studi. Akibatnya, tekanan finansial ini dapat berdampak buruk pada performa akademik dan kesehatan mental mereka.

Selain tantangan akademik dan finansial, mahasiswa juga menghadapi tekanan untuk memenuhi gaya hidup modern. Di era digital, kebutuhan akan perangkat teknologi seperti laptop, smartphone, dan koneksi internet yang andal menjadi semakin penting, terutama untuk mendukung kegiatan belajar jarak jauh dan magang daring. Begitu juga tekanan sosial untuk mengikuti tren gaya hidup, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan terus aktif di media sosial juga menambah beban pengeluaran mahasiswa. Hal ini menciptakan dilema antara menjaga keseimbangan antara kebutuhan sosial dan akademik, serta tekanan finansial.

Tekanan akademik, finansial, dan sosial ini tentu saja baik langsung maupun tidak langsung akan memberikan berbagai dampak pada kesehatan mental mahasiswa. Kurikulum yang padat dan tuntutan untuk menyelesaikan studi lebih cepat menciptakan stres yang berlebihan, terutama bagi mereka yang juga harus menghadapi masalah keuangan. Kesejahteraan mental mahasiswa terancam dengan meningkatnya risiko depresi, kecemasan, dan burnout, yakni sindrom psikologis yang muncul sebagai respon berkepanjangan terhadap stresor interpersonal yang kronis dari pekerjaan.  Dalam beberapa kasus, ketidakmampuan untuk mengelola semua tekanan ini dapat menyebabkan mahasiswa kehilangan motivasi, yang berdampak negatif pada performa akademik dan bahkan meningkatkan risiko putus sekolah.

Kebijakan Merdeka Belajar juga menuntut mahasiswa untuk lebih mandiri dalam menentukan jalur pendidikan mereka, yang di satu sisi memberikan kebebasan, tetapi di sisi lain menambah tekanan untuk membuat keputusan yang tepat terkait karier masa depan mereka. Banyak mahasiswa merasa terbebani dengan tanggung jawab besar ini, di tengah beban akademik dan keuangan yang semakin berat. Hal ini semakin memperburuk risiko burnout dan memengaruhi kualitas pendidikan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun