Pada pekan pertama Oktober 2024, tercatat tiga kasus mahasiswa yang diduga melakukan bunuh diri di berbagai kota. Pada 1 Oktober, seorang mahasiswa Universitas Kristen Petra (UK Petra) di Surabaya, berinisial RD, ditemukan tewas setelah diduga melompat dari Gedung Q di kampusnya.Â
Selang dua hari, pada 3 Oktober 2024, seorang mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) ditemukan meninggal di kosnya, juga diduga bunuh diri. Kasus terakhir terjadi pada 4 Oktober 2024, ketika seorang mahasiswi Universitas Tarumanagara (Untar) Jakarta, berinisial E (18) dilaporkan bunuh diri dengan cara melompat dari gedung kampusnya.
Sebelum kasus-kasus tersebut mencuat, pada 12 Agustus 2024, dunia akademik Indonesia dikejutkan oleh berita kematian seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), dr. Aulia Risma Lestari, yang ditemukan tewas di kamar kosnya. Kasus tersebut diduga terkait dengan praktik-praktik perundungan yang dialaminya selama mengikuti program PPDS.
Kasus bunuh diri, baik  di kalangan mahasiswa maupun Masyarakat luas di negeri ini sesungguhnya bukanlah fenomena yang terisolasi. Menurut data Pusiknas Polri, dari Januari hingga Maret 2024, terdapat 287 laporan kasus bunuh diri di Indonesia, dengan angka tertinggi terjadi di Jawa Tengah.Â
Sedangkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencatat bahwa sejak 2013 hingga 2024, terdapat 2.112 kasus bunuh diri, di mana lebih dari 46% melibatkan remaja. Data-data tersebut  menunjukkan adanya krisis kesehatan mental yang mendalam di bangsa ini sudah saatnya ditangani secara serius.
Semua mafhum, terjadinya prilaku bunuh diri merupakan adalah fenomena yang kompleks dan multifaktor. Dalam kasus mahasiswa, penyebabnya bisa beragam, mulai dari tekanan akademik, masalah pribadi, hingga gangguan mental seperti depresi atau kecemasan.
 Selain itu, faktor lingkungan seperti perundungan, isolasi sosial, serta tekanan keluarga dan masyarakat juga berperan besar.  Dalam esai ini, penulis hanya  akan membahas salah satu faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan kasus bunuh diri dari perspektif Efek Werther-psikolinguistik.
Ihwal Efek Werther-Psikolinguistik
 Efek Werther merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan fenomena  pemberitaan atau representasi media mengenai bunuh diri yang kemudian dapat memicu terjadinya dorongan  perilaku imitasi, terutama pada individu yang secara psikologis rentan.
Fenomena tersebut dinamakan Efek Werther setelah novel  The Sorrows of Young Werther karya Johann Wolfgang von Goethe yang dianggap telah memicu gelombang bunuh diri di Eropa setelah terbit pada akhir abad ke-18.Â
Dalam konteks psikolinguistik, Efek Werther menyoroti bagaimana bahasa dan narasi bunuh diri yang disampaikan oleh media dapat mempengaruhi proses kognitif, emosi, dan perilaku individu.