Permintaan maaf Jokowi yang  bertubi-tubi tersebut jika  dikaji menggunakan "Teori Kesopanan" Brown dan Levinson dalam buku mereka yang berjudul Politeness: Some Universals in Language Usage (1987), bisa dimaknai sebagai upaya menekankan pentingnya menjaga citra diri Jokowi dalam interaksi sosial.
Permintaan maaf Jokowi bisa ditafsirkan bertujuan melindungi "negative face," mengurangi dampak negatif dari kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Dengan meminta maaf, Jokowi sedang berusaha menjaga hubungan harmonis dengan masyarakat serta melindungi "positive face"-nya sebagai pemimpin yang peduli.
Penggunaan bahasa sopan dan kerendahan hati, dimaksudkan mencerminkan dan merupakan kesadaran Jokowi akan pentingnya kesopanan dalam komunikasi politik.
Selain itu, permintaan maaf Jokowi bisa dimaknai berfungsi sebagai strategi untuk meredakan kritik dan menjaga stabilitas sosial dan politik menjelang akhir masa jabatannya. Oleh karena itu dapat dipahami jika
diksi-diksi permintaan maaf Jokowi  bertabur kosakata yang mengedepankan kesopanan positif serta menekankan empati terhadap rakyat.
Andaikan Jokowi merupakan presiden yg tdk "bermasalah" permintaan maaf terbuka kepada rakyat di akhir jabatannya  tersebut sungguh merupakan prilaku yg sangat mulia. Tidak hanya dinilai menunjukkan kesadaran atas kegagalan atau kekurangan dirinya sebagai seorang pemimpin, tetapi juga sebagai sosok yg  berupaya memperbaiki hubungan interpersonal antara pemerintah dan masyarakat.
Meskipun demikian, karena selama sepuluh tahun masa kepemimpinannya  Jokowi dinilai telah membuat banyak sekali  kebijakan yang dianggap  menyengsarakan masyarakat,  boleh jadi masyarakat menyikapi permintaan maaf Jokowi dengan skeptis, bahkan mungkin sinis.
Misalnya, akibat sikap ngotot Jokowi  memindahkan ibukota negara di kawasan  belantara hutan di Kalimantan Timur yang konon diniati mendistribusikan pertumbuhan ekonomi. Realitasnya justru telah menimbulkan berbagai ketidakpastian birokrasi dan kemasyarakatan serta ancaman dampak lingkungan masa depan  yang membahayakan.
Begitu pula  seringnya Jokowi melakukan kebijakan menaikan harga bahan bakar minyak (BBM),  dan juga tarif BPJS Kesehatan. Semua itu tentu saja dirasakan telah  membuat biaya hidup rakyat melambung tinggi  dan memicu protes. Dan dalam menghadapi semua itu Jokowi dinilai tdk peduli.
Penanganan pandemi COVID-19 yang tidak konsisten oleh pemerintahan Jokowi yg telah menyebabkan kebingungan dan meningkatnya pengangguran masih sangat terasa benar bagi masyarakat kecil. Untuk ini pun Jokowi jg dinilai tdk perduli. Alih-alih memanfaatkanya untuk kepentingan "politisasi" lewat penggelontoran Bansos.
Meskipun dari pembangunan berbagai proyek infrastruktur besar dinilai telah  berhasil meningkatkan konektivitas, tetapi dampak dari proyek tersebut seringkali mengakibatkan  penggusuran dan kerusakan lingkungan. Terhadap realitas ini Jokowi pun dinilai sebagai pemimpin yg tidak peduli.
Di sisi lain, revisi Undang-Undang KPK yang dianggap telah melemahkan pemberantasan korupsi memicu demonstrasi, menciptakan ketegangan antara masyarakat dan pemerintah, Jokowi pun dinilai tutup mata dan mentulikan diri.