Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada Biaya Tinggi dan Korupsi Kepala Daerah

2 Agustus 2024   00:06 Diperbarui: 2 Agustus 2024   06:27 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
INFOGRAFIK: Rangkai Masalah Korupsi Kepala Daerah (kompas.com) 

Pada November 2024 mendatang, Indonesia akan menyelenggarakan Pilkada Serentak untuk memilih 38 gubernur, 416 bupati, dan 98 walikota. Dengan asumsi setiap pemilihan diikuti oleh lima pasangan calon, maka total akan ada 2.760 pasangan calon yang berpartisipasi dalam Pilkada serentak tersebut. Banyaknya paslon yang berkontestasi dalam Pilkada serentak dan langsung 2024 nanti sesungguhnya bisa berdampak positif maupun negatif.

Dampak positifnya, antara lain akan  memberikan kesempatan bagi calon-calon baru yang memiliki ide dan visi  yang segar dan inovatif  serta program-program terbaik untuk memimpin daerahnya. Masyarakat memiliki lebih banyak pilihan dalam memilih pemimpin daerah mereka. Sedangkan dampak negatifnya,  dapat  memicu polarisasi, khususnya pada masyarakat akar rumput, meningkatnya pengeluaran Pilkada, serta memicu dan memacu politik uang (money politics).

Seperti mafhum, saat ini  banyak Kepala Daerah yang terlibat dalam kejahatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta melanggar nilai-nilai etika dan moralitas. Pada dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, tercatat  enam menteri dan satu wakil menteri  terjerat kasus korupsi. Kemudian merujuk data KPK, sejak tahun 2004, ada 22 orang gubernur, 154 bupati/walikota dan wakilnya yang telah divonis akibat kasus korupsi.

Selanjutnya tercatat   79 pejabat kementerian/lembaga pemerintah non-kementerian/badan negara serta 365 pegawai Pemda yang juga terlibat kejahatan korupsi. Akibat  prilaku koruptif mereka telah menyebabkan kerugian negara mencapai  Rp33,6 triliun. Korupsi tidak hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga merambah hingga ke Lembaga desa. Hingga saat  ini, tercatat 686 Kepala Desa terjerat korupsi Dana Desa, dan menyebabkan kerugian negara mencapai  Rp233 miliar.

Tentu banyak faktor  penyebab banyaknya menteri dan khususnya Kepala Daerah (gubernur, bupati/walikota) yang terjerat korupsi. Salah satunya akibat  tingginya biaya politik. Seperti diketahui, untuk menjadi calon gubernur, bupati, atau walikota dalam Pilkada saja konon diperlukan dana yang sangat besar. Berdasarkan data Kemendagri dan KPK, seorang calon gubernur diperkirakan harus menyiapkan dana antara Rp20 miliar hingga Rp100 miliar, sedangkan untuk calon bupati/walikota dibutuhkan antara Rp20 miliar hingga Rp30 miliar. Tingginya biaya Pilkada itu untuk memenuhi berbagai pengeluaran seperti kampanye, logistik, dan biaya administrasi lainnya, termasuk untuk biaya melakukan ‘serangan fajar” alias membeli suara pemilih.

Masalahnya, akibat tingginya biaya politik dalam Pilkada tersebut berdampak buruk. Misalnya,  membuat banyak calon terpaksa mencari sumber dana yang besar, seringkali harusbdari para bohir yang memiliki kepentingan politik dan ekonomi tertentu. Setelah terpilih, sang Kepala Daerah terikat untuk membalas budi, yang bisa berujung pada praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Dampak lainya, setelah dinyatakan menang, tetapi karena menanggung ‘utang’ investasi yang tinggi sang Kepala Daerah pun suka tidak suka dituntut untuk mengembalikan modalnya dengan berbagai modus dan cara, termasuk korupsi. Selain itu, tingginya biaya Pilkada juga membuat pencalonan menjadi eksklusif. Hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki modal besar atau dukungan finansial yang kuat. Artinya, biaya Pilkada yang tinggi akan  menghalangi calon potensial dengan integritas dan kapasitas tinggi namun tidak memiliki sumber daya finansial yang mencukupi.

Upaya menghasilkan pemimpin yang berintegritas harus dimulai dari pelaksanaan Pilkada yang bebas dari politik uang. Proses pemilihan yang bersih dan jujur akan memastikan bahwa hanya calon-calon dengan integritas tinggi yang dapat memenangkan hati rakyat. Masyarakat harus berperan aktif dalam mengawasi jalannya Pilkada, menolak segala bentuk politik uang, dan mendorong mereka agar memilih berdasarkan rekam jejak dan kapabilitas calon.

Dalam upaya menciptakan demokrasi yang sehat dan pemilihan yang bersih, masyarakat harus mengambil sikap tegas terhadap politik uang. 'Serangan Fajar' atau praktik money politik telah merusak integritas proses pemilihan dan menghasilkan pemimpin yang tidak selalu berkompeten atau berintegritas. Mari kita bersama-sama edukasi masyarakat untuk mengatakan tidak pada money politik dan menghukum para kandidat yang nekat melakukannya dengan cara tidak memilih mereka.

Tidak ada yang gratis dalam politik. Semuanya akan diperhitungkan. Percayalah biaya yang yang telah dikeluarkan oleh seorang Paslon dalam upayanya mencapai kemenangan, pada giliranya nanti melalui berbagai cara, termasuk melalui jurus KKN  akan mereka upayakan agar kembali modal, bahkan menghasilkan keuntungan materi yang lebih banyak. Begitu juga para paslon Pilkada yang hobinya menjual citra diri dan bukan menjual kompetensi. Yakinlah andaikan mereka terpilih,  mereka nantinya akan lebih mengedepankan pencitraan ketimbang  bekerja keras menyejahterakan rakyat di daerahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun