Agama seringkali menjadi pilar kuat dalam kehidupan sosial dan politik, memainkan peran yang signifikan dalam membentuk norma, nilai, dan tindakan kolektif masyarakat. Dalam konteks ini, hubungan antara agama, doa, dan politik menjadi subjek yang menarik untuk diselami, melalui dua konsep yang berbeda namun saling terkait: "Doa Politik" dan "Politik Doa", khususnya  dalam wascana politik Indonesia saat ini.
'Doa politik' merujuk pada penggunaan doa dalam konteks politik untuk mencapai berbagai tujuan politik. Salah satu fungsi utama doa politik adalah untuk menguatkan legitimasi moral. Ketika pemimpin politik memasukkan elemen religius dalam tindakan dan kebijakan mereka, mereka berupaya untuk menunjukkan bahwa langkah-langkah yang diambil didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang tinggi. Dengan demikian, doa politik tidak hanya menjadi sarana spiritual, tetapi juga alat untuk membangun solidaritas dan identitas moral kolektif.
Contoh kongkret  dari doa politik adalah "Doa Bersama" atau yang lebih mashur disebut 'Istighosah' yang digunakan untuk mempererat ikatan di antara kelompok-kelompok dengan keyakinan agama yang sama, serta memperkuat identitas nasional dan keagamaan. Dalam masa-masa sulit atau krisis, doa politik menjadi cara untuk mencari bimbingan ilahi untuk kepentingan negara dan bangsa.
Misalnya peristiwa Istighosah 212 yang dilakukan pada tanggal 2 Desember 2016 di Monas, Jakarta. Pada kegiatan yang dihadiri oleh umat Islam  yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia ini ditaksir  dihadiri sekira 500.000 hingga lebih dari 1 juta orang, bertujuan untuk memohon pertolongan dan rahmat Allah dalam menghadapi berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi oleh umat muslim Indonesia pada saat itu. Acara tersebut menjadi momen penting dalam sejarah Indonesia karena melibatkan partisipasi besar-besaran dari umat Islam dalam menyampaikan aspirasi dan keinginan mereka kepada pemerintah.
Di sisi lain, "Politik Doa" mencerminkan bagaimana politik memanfaatkan dan memanipulasi praktik doa untuk tujuan politik tertentu. Politik doa dapat terjadi melalui penggunaan momen-momen keagamaan dalam konteks politik, seperti doa dalam sidang Parlemen atau partisipasi dalam perayaan keagamaan sebagai bagian dari strategi kampanye. Pada level praktis, politik doa mencakup penggunaan agama untuk memperoleh dukungan politik, membangun identitas politik berbasis agama, atau bahkan memperkuat legitimasi kebijakan pemerintah. Namun, risiko politik doa adalah potensi polarisasi dan kontroversi, terutama ketika agama digunakan secara eksplisit untuk tujuan politik.
Doa yang dikemukakan oleh Saleh Daulay saat Rakornas PAN yang meminta jatah menteri lebih banyak lagi kepada Prabowo Subianto bisa dikategorikan sebagai contoh dari apa yang disebut sebagai "politik doa". Hal tersebut dikarenakan doa dari Ketua Fraksi PAN DPR RI tersebut diucapkan dalam konteks politik serta dengan tujuan politik yang spesifik, yaitu mempengaruhi keputusan politik terkait dengan pembagian posisi menteri dalam kabinet. Sebagai partai yang mengklaim pendukung penuh pasangan Prabowo-Gibran, PAN meminta agar jatah pembagian posisi menteri dalam kabinet yang akan dating lebih banyak lagi. Maksudnya bukan hanya seorang seperti saat ini.
Penggunaan doa dalam konteks politik dan politik doa merupakan upaya untuk menghubungkan agama dengan urusan publik. Keduanya boleh dilakukan dan sah-sah saja. Meskipun demikian,  penting untuk senantiasa menjaga keseimbangan yang tepat antara penggunaan nilai-nilai agama untuk memperkuat identitas dan moralitas, tanpa memanipulasi atau merusak integritas keagamaan. Selain itu, penggunaan doa politik dan politik doa harus senantiasa  dijalankan dengan bijaksana, menghormati nilai-nilai agama sambil menjaga kebebasan beragama dan kebebasan berpendapat.
Dengan adanya pemahaman yang mendalam tentang dinamika "Doa Politik" dan "Politik Doa" diharapkan dapat memberikan wawasan yang berharga kepada masyarakat  tentang peran agama dalam politik kontemporer. Dengan mempertimbangkan kompleksitas hubungan antara agama dan politik, masyarakat dapat mengembangkan pandangan yang lebih inklusif dan harmonis terhadap peran agama dalam dinamika sosial dan politik yang terus berkembang. Dengan demikian masyarakat menjadi tidak lagi mudah dibohongi oleh jurus-jurus kedok religi para politisi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H