Salah satu larangan yang harus dipatuhi oleh orang yang berpuasa antara lain berkata dusta, menggunjing, berbicara kotor atau menghina. Larangan lainnya, berbantahan mengenai perkara-perkara yang tidak ada manfaatnya, apalagi hingga diiringi kemarahan yang dapat menimbulkan perselisihan.
Sekiranya ada yang mengajak melakukan hal-hal tersebut, "Janganlah dilayani atau tinggalkan mereka". Katakan kepadanya, "Sesungguhnya saya sedang berpuasa". Berbagai larangan di atas, tujuanya agar ibadah puasa seorang muslim tidak hampa atau sia-sia. Atau sebagaimana dikemukakan dalam sebuah hadist, agar nilai ibadah puasanya "tidak hanya sekedar mendapatkan rasa lapar dan dahaga belaka".
Demikianlah, salah satu hikmah yang bisa dipetik dari pelaksanaan ibadah puasa Ramadan dalam hubungannya dengan pendidikan berbahasa. Puasa Ramadhan sesungguhnya merupakan madrasah yang akan mentarbiyyah para pelakunya. Bukan hanya agar nantinya mereka dapat berbahasa dengan baik dan benar, tetapi juga berbahasa secara santun serta penuh etika dan tanggungjawab, baik lisan maupun tulisan. Dan perkara tersebut menurut penulis merupakan salah satu kompetensi yang kini mulai terkikis pada sebagian tokoh dan pemimpin bangsa ini.
Seperti kita mafhum, fungsi bahasa bagi manusia bukan hanya sebatas alat penyampai pesan semata. Bahasa juga merupakan alat berpikir, bernalar, berasa, dan bahkan alat berbudaya. Hal itu terkandung makna, bahasa yang digunakan oleh seseorang sesungguhnya dapat dijadikan sebagai parameter untuk mengukur sejauh mana tingkat kecendekiaan, kepiawaian, serta keberadaban dari para penggunanya.
Dalam tradisi Melayu hal yang seperti itu diwadahi lewat sebuah ungkapan yang sangat masyhur: "Bahasa menunjukkan bangsa". Jadi dalam bahasa Melayu dan juga bahasa-bahasa di Nusantara lainnya, cakupan medan semantik yang terkandung dari kata 'bahasa' atau 'basa' (dalam bahasa Sunda) atau 'boso' (dalam bahasa Jawa) tidak sama persis dengan kata language dalam bahasa Inggris. Cakupan medan semantik dari kata 'bahasa' mengandung makna bahasa yang sesuai dengan prinsip-prinsip penggunaannya (the proper conduct of language usage), baik berdasarkan kaidah kebenaran (correctness) maupun kecocokannya (appropriacy).
Dalam masyarakat Jawa dan Sunda misalnya, ada ungkapan "ora mboso" atau "teu basa" yang ditunjukkan untuk pengguna kedua bahasa tersebut tetapi mengabaikan prinsip-prinsip pengunaannya. Misalnya, dia menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Sunda tetapi tidak sesuai dengan konteks undak-usuknya, atau yang bersangkutan menggunakan kosa kata yang tidak tepat atau kasar dalam situasi formal.
Begitu pula halnya dengan kata 'bangsa', dalam tradisi Melayu rujukan medan semantiknya tidak sama dengan kata 'nation' dalam bahasa Inggris. Kata 'bangsa' mengandung makna status atau derajat sosial yang terhormat. Oleh karena itu dalam bahasa Melayu dikenal ungkapan "Orang yang berbangsa" atau kata 'bangsawan', yang mengandung pengertian seseorang yang memiliki status, derajat, atau kedudukan yang terhormat.
Akhir-akhir ini banyak kalangan yang memprihatinkan mulai terkikisnya pilar-pilar keluhuran budaya bangsa ini pada berbagai level masyarakat kita, yang antara lain dicirikan dari kepiawaian dalam menggunakan bahasa tersebut. Misalnya, banyak orang di negeri ini yang secara formal-akademik merupakan golongan terpelajar, atau orang-orang yang memiliki kedudukan terhormat karena jabatannya sebagai petinggi negeri, tetapi dalam praktik berbahasa mereka tidak mampu menunjukkan keterpelajarannya atau keterhormatannya.
Contoh yang paling aktual mengenai ihwal ini antara lain berbagai kericuhan yang setakat ini sering dipertontonkan para elit politik kita saat mereka menggelar berbagai persidangan di gedung DPR/MPR. Dalam banyak kasus ternyata pemicu terjadinya berbagai kericuhan di antara mereka tersebut bukan karena persoalan substansinya yang memang cukup krusial, tetapi lebih dikarenakan akibat mereka tidak tertib dalam menggunakan bahasa serta kurang piawai dalam beretorika. Begitu juga ucapan sejumlah menteri yang getol marah-marah atau ia tidak bisa dipegang kebenaran ucapannya.
Pembaca tentunya bisa sepakat dengan penulis, kita berharap semoga 'kaum bangsawan' negeri ini, baik yang duduk di legislatif, eksekutif, yudikatif, orpol, ormas serta mereka yang kerap mengkalim sebagai tokoh, bisa menjadikan bulan Ramadhan yang penuh dengan tarbiyah berbahasa yang penuh keadaban dan tanggungjawab untuk memperbaiki akhlak berbahasa mereka. Betapa kita semua sudah muak menyaksikan terjadinya kegaduhan demi kegaduhan yang melanda negeri ini yang kerap dipicu oleh buruknya kompetensi berbahasa mereka.**