Sejumlah perguruan tinggi terkemuka di Indonesia telah mengeluarkan sikap dan kritik terhadap rezim Jokowi. Presiden Jokowi meresponsnya secara normatif, menyatakan bahwa seruan atau petisi adalah hak berpendapat dalam demokrasi.
Namun, Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, berpendapat sebaliknya. Ia menganggap suara-suara keprihatinan dari kampus sebagai upaya sengaja untuk mengorkestrasi narasi politik demi kepentingan elektoral. Ari juga menilai bahwa strategi politik partisan seperti itu adalah sah dalam ruang kontestasi politik.
Sejumlah dosen dan guru besar menolak dan merasa tersinggung atas tudingan dari staf presiden Jokowi terkait motivasi elektoral dalam sikap kritis mereka. Dosen UGM, Agus Wahyudi, membantah adanya tujuan elektoral di balik kritik civitas akademika kampusnya.
Guru Besar UI, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, yang membacakan Deklarasi Kebangsaan UI, menanggapi dengan kesal terhadap tudingan sesat dan partisan dari Istana. Ia dan teman-temanya para Gubes  menyatakan bahwa sebagai akademisi, mereka tidak memiliki kepentingan mendukung paslon tertentu. Tudingan staf Presiden tersebut sangat keji, ujarnya.
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Koentjoro, menolak tudingan terlibat dalam politik partisan yang disampaikan oleh Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana. Prof. Koentjoro menyatakan bahwa ia merasa tersinggung karena terlibat dalam narasi kepentingan politik, sementara ia membaca petisi dengan penuh kasih dan saling mengingatkan, mengajak alumninya untuk tidak terlibat dalam hal tersebut.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Federasi Rusia, Prof. Hamid Awaludin, menanggapi suara keprihatinan dari sejumlah kampus, terhadap situasi demokrasi di Indonesia.
Menurut Prof. Hamid, penting untuk mendengarkan suara-suara dari kampus karena seringkali menjadi tempat pemikiran kritis dan perdebatan. Ia berharap pernyataan ini dapat memicu diskusi lebih lanjut dan membantu memperkuat demokrasi di Indonesia, menginterpretasikan turunnya kampus-kampus sebagai bukti bahwa negara sedang menghadapi tantangan.
Selain menggunakan stafnya untuk menanggapi suara-suara kritis dari kampus, rezim Jokowi diduga menggunakan berbagai cara lain untuk menghalangi ekspresi kritis.
Sebagai contoh, saat Deklarasi Akademik yang diadakan oleh komunitas guru besar dan dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) berjudul "Mencegah Kemunduran Demokrasi Malu Menjadi Bangsa," acara tersebut mengalami sabotase. Salah satu peserta menggunakan gambar porno sebagai identitasnya, yang tidak hanya tidak pantas tetapi juga merusak tujuan serius dari deklarasi akademik tersebut.
Upaya lain yang dilakukan rezim Jokowi terlihat dalam upaya "membenturkan" sivitas akademika dengan penguasa kampus. Sebagai contoh, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair), Prof. Badri Munir, menyatakan bahwa pernyataan sikap sivitas akademika di depan Gedung Pascasarjana pada Senin (5/2/2024), tidak mewakili institusi kampus dan pengguna gedung tidak memiliki izin.
Ia juga menyesalkan penggunaan gedung Pascasarjana untuk aktivitas publik tanpa izin, dan menegaskan bahwa pernyataan tersebut tidak mewakili sivitas akademika Unair maupun sivitas akademika Pascasarjana Unair.