Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Saatnya Politisi Belajar Adab Berdebat dari Tradisi Pesantren

11 Januari 2024   15:36 Diperbarui: 11 Januari 2024   15:56 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Mesranya" Anies Baswedan, Cak Imin, dan Ganjar Pranowo di Media Sosial (msn.com) 

Debat yang dilakukan oleh para politisi, misalnya yang dilakukan oleh para Capres-Cawapres, seringkali menjadi sorotan publik karena dianggap sering melanggar adab dan kesantunan, bahkan mencapai tingkat saling serang dan unjuk kehebatan. Fenomena ini menunjukkan beberapa kecenderungan yang perlu diperhatikan dalam konteks politik modern, dimana etika dan sopan santun terkadang terpinggirkan.

Dalam upaya untuk meraih dukungan publik, banyak politisi yang terlibat dalam serangan personal terhadap lawan-lawan politik mereka. Saling serang ini sering kali dimaksudkan untuk mengekspos kelemahan lawan atau bahkan merendahkan mereka.  Debat politik sering dipenuhi dengan penggunaan bahasa yang kasar dan merendahkan.

Sikap ini menciptakan atmosfer debat yang tidak sehat dan menggoyahkan etika berdiskusi. Selain penggunaan bahasa yang kasar dapat menurunkan kualitas percakapan dan memicu polarisasi di antara pendukung.

Saat berdebat para politisi tersebut terkadang lebih mengedepankan retorika dan menciptakan efek emosional di kalangan pemilih daripada memberikan argumen dan solusi substansial. Fokus pada retorika dan emosi dapat menciptakan ketegangan tanpa memberikan kontribusi signifikan pada substansi diskusi.

Kemudian yang juga membuat kita miris, mereka juga kerap menggunakan taktik pemalsuan fakta atau informasi semata-mata hanya  untuk memenangkan argumen. Juga terlalu fokus pada isu-isu personal atau skandal daripada membahas isu-isu substansial dan kebijakan publik. Padahal taktik-taktik  seperti ini dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap informasi politik.

Belajar dari Tradisi Pesantren

Sesungguhnya  prilaku perdebatan yang buruk seperti digambarkan di atas tidak harus terjadi andaikan para politisi tersebut, khususnya yang pernah belajar di pesantren atau lembaga pendidikan Islam, menggunakan pengalamannya. Mengingat tradisi "Soal-Jawab" atau "munarah" dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia mencerminkan keberlanjutan semangat dialog, perdebatan, dan penelitian yang telah menjadi bagian integral dari keilmuan Islam.

Tradisi ini memainkan peran kunci dalam membentuk pemikiran Islam di Indonesia dan memperkaya intelektualitas umat Muslim. Di sini, mereka berkumpul untuk membahas isu-isu keagamaan dan keilmuan secara lebih luas, mulai dari aspek sosial hingga teologi. Majelis ini menciptakan platform terstruktur untuk pertukaran ide dan peningkatan pemahaman.

Dalam konteks tersebut, pesantren sebagai institusi pendidikan Islam tradisional, memegang peran sentral dalam mewujudkan tradisi "Soal-Jawab." Di lingkungan pesantren, para santri diajak untuk terlibat dalam diskusi, tanya jawab, dan perdebatan dengan para kyai atau pemimpin pesantren serta guru-guru mereka. Dalam tradisi "Soal-Jawab" melibatkan studi dan penafsiran kitab-kitab klasik Islam, yang sering dikenal sebagai "kitab kuning" seperti tafsir, hadis, fiqh, dan ushul fiqh.

Tradisi ber-"Soal-Jawab" membuka ruang bagi proses ijtihad atau usaha pemikiran independen, serta qiyas atau analogi hukum, di antara para ulama. Melalui perdebatan dan diskusi intensif, mereka mencari pemahaman yang lebih mendalam tentang hukum Islam dan bagaimana mengaplikasikannya dalam konteks lokal. Tradisi ini memfasilitasi pengembangan pemikiran hukum yang adaptif dan kontekstual.

Selain itu,  dalam tradisi ini menciptakan tantangan dan kesempatan bagi para ulama untuk menyelaraskan ajaran Islam dengan konteks budaya lokal. Para ulama diajak untuk merenungkan dan menyesuaikan pemahaman Islam agar dapat hidup harmonis dalam masyarakat Indonesia yang beragam budaya. Ini memperkaya pemikiran Islam dengan perspektif yang kontekstual dan relevan secara sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun